Mataku
yang masih mengantuk terbuka setengah. Ku lirik jam dinding, menunjukkan pukul
dua siang, pergantian tahun tinggal beberapa jam lagi. Panas terik kota
Pontianak tetap terasa walaupun di bulan Desember. Dan siang ini aku membuka
mata dengan status jomblo, setelah 7 tahun berpacaran. Wow, 7 tahun berpacaran
dan putus, aku merasa hancur. Mataku bengkak karena kemarin malam aku menangis
sampai lelah, wajar bukan aku baru bangun siang-siang begini. Tak lama, ponselku
berbunyi, langsung ku angkat, dan omelan yang ku dapat. Di hari akhir tahun,
aku bolos masuk kantor, tanpa sengaja. Bagaimana nasibku nanti jika masuk
kantor, herannya tak terlalu ku fikirkan, aku masih memikirkan hubunganku yang
baru saja putus.
Bukan
sebentar waktu 7 tahun itu, banyak hal manis yang dilalui bersama. Dan banyak hal
pahit yang hanya kupendam dalam hati. Aku itu tipe orang yang sulit
mengungkapkan apa yang kurasa. Aku lebih senang memendam masalah itu, tanpa di
ungkit. Contohnya, aku tahu pacarku ini selingkuh, tapi aku diam saja. Alasanku
begitu, karena aku takut kehilangan pacarku. Namun pada akhirnya, pacarku itu lah
yang memutuskanku. Bahkan, saat putuspun, aku tak mengomel dan marah pada
pacarku, seperti perempuan kebanyakan. Aku hanya tersenyum manis sebelum aku
pulang. Begitu pulang kerumah aku meraung sedih. Berteriak di balik selimut
tebal. Itulah diriku. Sok kuat, senang berpura-pura menutupi apa yang kurasa.
Memikul rasa itu sendiri.
Masih
berbaring malas di kasur, pandangan mataku beralih ke bingkai foto yang menempel
di dinding sisi kanan kamar. Di bingkai foto berwarna putih itu tertulis jelas
dengan spidol hitam bertuliskan, “my first boyfriend, my first love.”
Foto
sepasang kekasih berseragam SMA, pasangan itu terlihat bahagia, tampak dari
senyum mereka yang merekah. Si cewek mencepol seluruh rambut belakangnya dan
menyisakan poni lurus menutupi alis, yaa cewek itu aku. Dan sebelahku ialah pacar
pertamaku, cowok yang 7 tahun berpacaran denganku, sekaligus cinta pertamaku. Eh,
tentang cinta pertama bukan dia kok, tapi itu versi bohongku pada orang-orang
selain Adikku. Kenapa masa SMA sering
kali dikaitkan dengan cinta pertama? Padahal, aku sudah merasakan perasaan suka
dengan lawan jenis sejak 10 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP
kelas 1.
Menyimpan
rapat-rapat siapa sebenarnya cinta pertamaku, rasanya pilihan yang tepat. Aku
nggak mau menjelaskan, kalau sebelum pacar pertamaku itu, sudah ada pria yang
mencuri hatiku terlebih dahulu. Lagi-lagi, aku yang suka memendam apa yang
kurasa ini, hanya menyimpan perasaan suka itu dalam hati saja. Sudah menjadi
kebiasaan, menyimpan sendiri apa yang kurasa sulit untuk aku ungkapkan, baik
itu rasa suka ataupun rasa kesal.
Hei,
aku tiba-tiba jadi merindukan cinta pertamaku itu. Namanya Arif Putra
Herdinata. Apa kabarnya sekarang ya? Dia susah untuk ditemukan. Pernah aku
iseng mencari namanya di jejaring sosial, tapi tak pernah ketemu. Hah, mustahil
jika aku bertemu dengannya. Mungkin dia sudah kuliah S2 atau kerja di luar Pontianak.
Terakhir
kali aku ketemu dia itu, saat dia lulus SMP, dia lanjut ke SMA manapun aku tak
tahu. Dia memang lebih tua dariku dua tahun, sekarang umurnya pasti sudah 25
tahun. Kisah cinta pertamaku ini berakhir buruk, aku tak pernah mengungkapkan
apa yang kurasa. Dia mengingatku saja,
aku tak tahu pasti, sebab aku hanyalah seorang secret admirer yang diam-diam menyukainya. Pernah aku memberikan sapu tangan dengan bordiran inisial namaku,
“RS”, alias Riani Salim dan juga lambang hati, lalu inisial namanya. Sapu
tangan itu bukan kuberikan secara langsung, tapi diam-diam, saat dia lagi jam
pelajaran olahraga, aku menyelinap masuk kedalam kelasnya, dan memasukkan sapu
tangan itu di dalam tas.
“Kak!!!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang cewek, dia sesuka hati berteriak di depan
pintu kamar. Aku tahu siapa dia, tak ada
yang memanggilku dengan sebutan Kakak, dirumah ini selain Lidya, Adik bungsuku.
“Buka pintunye Kakak!!!” Dia memekik lebih brutal, di tambah menggedor pintu
kamar secara semena-mena.
“Buka
jak, ndak dikunci.” Jawabku lemas. Sebenarnya aku lagi ingin sendiri saja.
Seperti yang ku bilang tadi, sikapku begini sudah menjadi kebiasaan, aku sulit mengungkapkan apa yang aku
inginkan. Sudah sering aku begini. Kadang aku benci bahwa aku tak punya
keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kurasa.
Bruk!
Kerasnya
bunyi pintu kamar yang terbuka, berbenturan dengan dinding. Dan aku dapat
melihat, cewek cungkring berambut lurus sepinggul berlari bak kancil, lalu menghempaskan
tubuhnya di kasurku. Dia menyengir sambil menatapku lekat. Hah, aku harus
berbagi tempat dengannya. Padahal aku lagi ingin sendiri. Eh, memang pengganggu
lah si Lidya ini.
“Ada
apa, Dek?”
“Mandi
gih, bantu Mama berkemas. Malam ini acara tahun baru di rumah kite.”
Aku
tercengang. Habis putus cinta, maunya malam ini aku merenung sampai larut
malam, memikirkan resolusi di tahun mendatang, tentunya aku melakukan itu sendirian.
Tanpa kebisingan, tanpa ada satu orangpun yang mengganggu. Lagipula, tumben-tumbennya
orang tuaku mengadakan acara tahun baru dirumah. Biasanya kami merayakan
dirumah Nenek pihak Mama. Dan biasanya lagi, aku tak ikut bersama mereka,
karena akan menghabiskan waktu bersama mantan pacarku itu.
Tahun
lalu, aku diboncengi, menaiki motor vespanya, kami keliling Kota Pontianak, tujuannya
sih mau ke tepi sungai kapuas, melihat orang-orang memainkan meriam, dan ikutan
menghidupkan meriam juga, tapi rencana itu gagal, karena kami terjebak macet di
jalan Gajahmada. Alhasil, kami hanya melihat kembang api yang terlihat indah,
dari tepi jalan.
“Nanti
aja, masih ingin sendiri.”
“Wake up, Kak! Masih ingin sendiri sambil
mikirin mantan pacar yang pernah selingkuh itu? Haduh, Kak, move on dong! Dia selingkuh, dan Kakak
tahu itu. Kak, kalau aku jadi Kakak, pasti aku sudah memarahinya sampai puas,
kita itu sebagai wanita jangan mau dibodohi laki-laki dong. Nggak ada jaminan
juga kita tetap bersikap baik, bakalan terus disayang sama pacar. Toh, Kakak
baik-baikin dia, ujung-ujungnya Kakak diputusin juga, kan. Saranku ya, jika
Kakak punya pacar baru, jangan yang nggak jelas seperti dia, Kakak pantas dapat
yang terbaik. Dan aku yakin, suatu saat mantan Kakak itu juga menyesal sudah
mutusin Kakak.” Celoteh Lidya panjang lebar.
Halah,
mendengarkan petuah dari seorang Adik bungsu yang notabennya masih mahasiswi
baru, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya itu dengan kertas, dan mendorongnya
keluar kamar. Hei, yang kukatakn tadi hanya “ingin”, bukan kenyataan yang
terjadi. Faktanya aku menggut-manggut mendengar petuah Lidya.
“Jadi,
yang harus Kakak lakukan ialah, mandi, terus bantu Mama di bawah. Ada kerupuk
basah loh. Mama ada memesan sama temannya yang jago buat kerupuk basah.”
Wew,
mendengar kata kerupuk basah, perutku meronta-ronta minta diisi. Tanpa
basa-basi, aku bangkit dari tempat tidur dan berlari menju dapur.
“Heh,
Kak! Mandi dulu!!!”
“Nanti
dulu, lapar ini, Dek.” Aku tak peduli. Aku lapar, dan aku ingin makan kerupuk
basah. Jarang-jarang lho aku mencicipi makanan ini.
Eits,
kerupuk basah ini bukan kerupuk yang di basahin ya. Hehehe. Bentuk kerupuk
basah, mirip empek-empek lenjer, tapi makannya dicocol sambal kacang. Dan,
rasanya enak banget deh pokoknya. Lebih enak lagi kalau aku bisa memakannya
sampai 2 kali nambah. Hihihi.
“Kak
Riana!!!” Teriak Lidya lagi. Tepat saat aku memegang gagang pintu.
“Emm?
Apa lagi?” Refleks aku membalikan badan, dia malah menyipitkan matanya
memandangku.
“Itu
tuh tugu cinta Kakak, kenapa masih
bertengger di meja belajar? Kapan Kakak mau membuangnya?”
Aku
menghela nafas memandang benda itu. “Nanti aku buang.” Kataku lirih, lalu melenggang
keluar kamar.
“Tuh
kan, Kakak belum bisa MOVE ON!”
Teriak Lidya, terdengar sampai diluar kamar. Dia menekankan kata “move on” itu, seolah aku makhluk paling
malang sedunia yang tak bisa berpindah ke lain hati.
Baru
saja satu hari putus, belum sempat kali aku membuang tugu cinta itu. Ah, bibirku
menyungging senyum setiap mengucap kata, “tugu cinta.”
Sebenarnya
itu adalah miniatur Tugu Khatulistiwa. Namun, tulisan “Tugu Khatulistiwa” yang
ada miniatur itu ditutupi dengan kertas yang sudah diberi lem dan tulisannya di
ganti dengan “tugu cinta”. Jika Tugu Khatulistiwa adalah titik nol kulminasi, dimana
bayangan dapat hilang sejenak pada tanggal tertentu. Maka, tugu cinta ini
adalah titik kulminasi hati kami, dimana kemarahan akan hilang sejenak ketika
kami melihat tugu ini, begitulah kata mantan pcarku itu.
Aneh,
ya? Memang aneh dan kekanak-kanakan. Miniatur Tugu Khatulistiwa ini di beli
sepasang, satu untuk dan satu untuk mantan pacarku. Kami membelinya saat study tour, pada saat perayaan titik
kulminasi. Waktu itu kami masih SMA, dan kami membuat kenangan manis disana, di
kawasan Tugu Khatulistiwa.
Setiap
kakiku melangkah, menuruni anak tangga rumah, aku semakin mengingat setiap
langkah hubunganku dengannya dari awal kami berpacaran. Tujuh tahun, rasanya
cepat sekali berlalu.
“Riana,
bantu Mama sini, Nak.” Mama membuyarkan lamunanku, dan menyambutku dengan wajah
super hangatnya itu.
Kakipun
melangkah cepat menghampirinya. Nah, jika disuruh Mama, aku dengan senang hati
melakukan apapun tanpa beban, karena dia wanita yang membuatku ada di muka bumi
ini. Wujud rasa terima kasihku padanya, ya dengan membantu apa yang beliau
suruh.
***
Kretek...
Kretek...
Bunyi
tulang punggungku, setelah puas duduk dua jam mengupas jagung, mengupas bawang,
menumbuk bumbu ayam bakar, memotong-motong kerupuk basah. Tugas yang Mama suruh
sudah selesai semua, dan aku sempat lupa dengan tujuan awalku, yaitu MAKAN.
Mama
memesan kerupuk basahnya banyak banget. Aku bisa nambah sepuasnya, tapi kata
Mama kerupuk basahnya juga untuk acara tahun baru nanti malam, jadi makananku
sedikit dibatasi. Cukuplah 2 kali nambah, mengingat kemarin malam aku tak tentu
makan.
Perut
kenyang hati pun tenang. Eh, nggak juga. Hatiku masih mendung, efek habis putus
cinta. Sore ini tiba-tiba langit berubah mendung juga, sama seperti hatiku. Aku
membuat kopi sachet dan duduk di
balkon atas rumah. Melamun sendirian disini, menyesap kopi hangat. Tahun 2013
akan segera berakhir. Perlahan aku menyadari aku yang masih gini-gini aja.
Masih betah kerja di salah satu kantor swasta dengan gaji yang tak sesuai
dengan rasa capek yang di dapat. Masih saja sulit menolak untuk membonceng
temanku setiap hari berangkat kerja, padahal jarak rumahnya itu tak satu arah
denganku.
Pernah
temanku bilang, kalau aku itu jarang sekali mengatakan tidak jika disuruh atau
diminta apapun. Hah, memang benar. Asal mereka tahu, ada kalanya aku mau memang
karena hatiku mau, dan ada kalanya aku mau namun aku tak bisa mengungkapkan
kata tidak.
Kapan
ya aku bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ku rasa? Aku lelah memikul setiap
rasa yang sebenarnya ingin aku curahkan, ingin aku lampiaskan, dan ingin aku
hempaskan. Sebenarnya, ada dua rasa yang ku pikul sejak lama. Yaitu rasa kesal
kepada pacar pertamaku, dan rasa suka yang belum terungkap kepada cinta
pertamaku. Jika Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan mantan pacarku
lagi, aku akan melampiaskan rasa kesalku sepuasnya. Dan jika Tuhan memberikan
kesempatan bertemu cinta pertamaku, aku akan mencurahkan apa yang kurasa dulu.
Agar dia tahu, dialah cinta pertamaku.
Hah,
itu hanya angan-angan saja. Semua sudah berlalu, meninggalkanku. Pipi terasa
basah, aku menangis lagi. Langit memang bersahabat denganku hari ini, ia ikut
menangis juga. “Wahai hujan, dapatkah kau sampaikan pada Tuhan, apa yang ku
inginkan tadi?”
***
“Hei,
melamun aja, udah mau maghrib, sapa dulu gih teman-teman Abang di bawah. Mereka
ikut acara tahun baruan dirumah kite.” Pria berambut cepak memakai kemeja rapi
ini mengusap-usap kepalaku pelan. Dia Abang kandungku, sekaligus anak tertua
dirumah ini. Namanya Ridho.
“Males.”
Jawabku singkat, aku kembali menatap langit yang semakin deras menangis itu,
mulai tertutup awan gelap. Abang dan Adikku sama saja. Sama-sama mengganggu
ketenanganku yang lagi ingin sendiri.
“Abang
ada bawa teman-teman cowok Abang, khusus untuk kau.” Katanya lagi-lagi sambil
mengelus pelan kepalaku. Beda denganku yang menampakkan ekspresi keheranan
dengan mengernyitkan dahi. Berfikir sejenak, Kenapa Abangku tahu aku sudah
jomblo? Padahal dia kan tahu, aku itu dulunya punya pacar, dan mana mungkin dia
tahu aku putus, toh baru putusnya saja kemarin malam.
“Tahu
dari Lidya, Bang?” tanyaku lirih, menayakan apa yang membuatku penasaran. Toh,
mana pernah aku cerita urusan cinta dengan Abangku.
Dia
mengangguk mantap, lalu tersenyum. “Banyak yang ganteng-ganteng, Dek! Tapi
mandi dulu lah, kayaknye kau belum mandi dari pagi lah. Iye kan? Masih bau
soalnye.”
Aku
mendengus kesal menatapnya, dan langsung pergi begitu saja, masuk ke dalam
kamar, lalu ke kamar mandi. Tentu saja aku akan mandi.
Siapa
yang mau badan bau keringat karena nggak mandi seharian, lalu bertemu dengan
orang-orang. Bukan karena teman-teman Abangku yang katanya gantentg-ganteng itu,
aku langsung mandi. Hanya saja, tak mungkin terlihat jorok dan bau. Aku juga bukan
cewek genit yang dengan mudah bisa tergoda dengan pria lain. Tak seperti Lidya
yang sudah tampil berlebihan, mengenakan long dress, seperti ingin pergi ke
pesta, terus riasan di wajahnya juga ketebalan.
“Yuk
kita ke bawah, Kak!” Serunya berdiri di depan pintu kamarku, menanti aku yang
lagi berkaca, memakai riasan yang natural. Soal pakaian, aku santai saja. Baju dengan
kerah sabrina dan celana jump suit. Tak lama aku menghampirinya, dan kami
sama-sama turun ke bawah.
Lidya
berdecak memandangiku, dia bilang gayaku ini terlalu biasa. Riasanku juga tak
terlalu tampak. Dia bilang kami harus tampil cantik. Sebab, ada banyak teman
Bang Ridho, dan mungkin saja akan ada yang jatuh hati jika kami berdandan
cantik malam ini.
Lidya
terus mengoceh, tapi aku tak begitu jelas mendengar apa yang dia ucapkan, pandangan
mengarah ke ponsel, aku menanyakan keadaan kantor pada teman sekantorku.
“Tuh,
cowok yang pakai kemeja biru muda, ganteng ndak, Kak?” tanya dia menyikut tanganku. Mau tak mau aku
mendongakkan wajah, memandang ke cowok yang ciri-cirinya Lidya sebut.
“Lid!!!”
Tanganku gemetar mencengkram tangan Lidya, kakiku lemas melihat apa yang ku
lihat. “Die bukannye Arif ye, ngapain die kesini?” bisikku.
“Arif?
Arif siape?” Lidya celingak celinguk mencari. Percuma dia celingukan seperti
apapun, mana dia pernah melihat Arif sebelumnya. Dia mengenal Arif dari
ceritaku saja.
“Yaelah,
Arif cinte pertame aku. Biarpun ndak ketemu 10 tahun lamaknye, biarpun gaye
pakaian dan rambutnye ndak belah tengah agik, aku tahu itu die.”
“He’eh...
Iye ke? Mane aku pernah lihat muke die, Kak. Kalau gitu, aku ngincar cowok yang
pakai kemeja merah itu jak ye.” Jawabnya seraya meninggalkanku yang masih saja
terpaku.
Gila,
hujan benar-benar menyampaikan apa yang ku inginkan pada Tuhan, dan kesempatan
bertemu cinta pertamaku yang sudah lama tak bertemu itu, muncul kembali.
“Riani,
sini!!!” Bang Ridho berjalan menghampiri dan menarik tanganku pelan, sambil
berjalan. Terpaksa aku ikut berjalan di belakangnya. Sampailah kami di hadapan
teman-teman Bang Ridho yang lagi duduk-duduk santai diruang tamu.
“Gimana?
Cakep-cakep kan?” Tanya Bang Ridho, dari nada suaranya, terdengar ia
bersemangat menjadi pak comblang untukku. Aku menunduk malu, tapi kepala ini manggut-manggut,
dan senyuman merekah memandangi Arif.
***
Acara
tahun baru di penghujung 2013, kuhabiskan merayakannya bersama orang-orang
terkasih dirumah. Keluarga dari pihak Mama mulai berdatangan, mereka duduk
bercengkrama di ruang keluarga lantai bawah. Untuk anak-anak muda, kami duduk menonton
film horor di lantai atas. Teman-teman Bang Ridho ada yang pulang, tapi tidak
dengan Arif dan beberapa teman lainnya. Apa ya namanya perasaan ini, mau
dibilang senang, aku tak terlalu senang. Padahal, dulu momen inilah yang
kuharapkan, momen yang dulu sulit sekali untuk sedekat ini dengannya, malam
tahun baru ini, pertama kalinya aku dapat mendengar suara Arif menyapa namaku.
Selepas
menonton film horor, sekitar jam sembilan, barulah kami bakar-bakar jagung dan
ayam di halaman belakang. Selama menonton film horor tadi tak ada yang lebih
horor, dibandingkan dengan ketangkap basahnya aku menatap Arif diam-diam.
Terlalu ceroboh, sampai kami bakar-bakaran di halaman depan, giliran Arif yang
sering curi pandang. Dia juga berdiri didekatku.
“Apa
kita pernah ketemu? Dimana gitu ya?” Celetuk Arif tiba-tiba.
Aku
tahu dia memandangku, jelas-jelas aku merasa ada yang mengawasiku sejak kami di
halaman belakang dan bola matanya itu tak ia alihkan ke arah lain, sebelum aku
menjawab. Bibir ini kelu mau menjawab, ku lanjutkan saja mengolesi jagung
dengan mentega, biarkan saja aku diam. Masa aku harus menjawab iya dan mengaku
kalau aku pernah menyukainya dan dia ialah cinta pertamaku? Eh tapi, aku pernah
meminta kesempatan pada Tuhan, jadi, apa ini kesempatan yang ku pinta tadi?
“Emmm...
Mungkin Abang satu sekolah kali dengan Kak Riani. Kakakku itu dulunya di
Sekolah dasar negeri 18, Sekolah menengah pertama 2, dan Sekolah menengah atas
7. Apa ada yang sama sekolahnya?” Lidya angkat bicara. Dan dia malah membuatku
cemas. Mulut embernya itu, bisa saja bilang kenyataan bahwa aku pernah menyukai
Arif.
“Aaa,
sama! Waktu sekolah menengah pertamanya, pantas saja, rasanya pernah melihat.”
Jawab Arif cengegesan, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Detik
itu juga, aku masuk kedalam kamar. Memahami perasaan kacau dalam hati. Tuhan
sudah memberi kesempatan untuk bertemu dengan Arif yang jelas-jelas
bertahun-tahun tak ku temui. Seharusnya aku mengungkapkan kebenaran akan
perasaanku dulu, agar pikulan perasaan ini dapat berkurang. Bukannya begitu?
Bolak
balik seperti seterikaan, aku mengumpulkan keberanian untuk berkata yang
sebenarnya.
***
“Bang
Arif, boleh minta waktunya sebentar?” tanyaku kaku seperti robot produk gagal.
Dia lagi mengipas-ngipas pembakaran saat aku bertanya, fokus sekali ia membakar
jagung, sampai-sampai aku yang ada di depannya saja tak ia pandang.
“Boleh,
ada apa?”
Aku
menghelas nafas panjang, berulang kali sampai aku merasa tenang. Sayangnya
perasaan ini tak kunjung tenang. Beban rasa ini harus aku ungkapkan. Ini juga
janjiku jika aku diberi kesempatan bertemu dengannya, dan aku harus memenuhi
janji ini.
“Dulu,
pernah menerima sapu tangan dengan
bordiran inisial nama?” tanyaku pelan, mesih dengan logat bicara yang kaku.
“Iya,
kenapa kamu tahu tentang itu?” kejarnya, mungkin dia penasaran. Matanya kini
menatapku dengan perasaan berharap aku menjawabnya pertanyaannya dengan cepat.
“Emm...
Itu....”
“Emm...
Karena sapu tangan itu aku yang buat, Bang. Karena Abang cinta pertama aku,
diam-diam aku menyimpannya di dalam tas Abang dulu.” Jawabku menunduk malu, tak
berani menatap wajahnya. Helaan nafas ku hembuskan setelah mengungkapkan
kebenaran itu.
Hening,
tak kudengar suaranya.
Kuberanikan
diri menengadahkan wajah, menatap wajahnya. Ekspresi dari wajahnya itu sulit
untukku tebak. Dia tidak tersenyum, dan tak juga bermuram. Kulihat, dia seperti
merogoh sesuatu di saku belakangnya. Ah, dia merogoh kocek dan mengambil dompet.
Bingung kenapa dia mengambil dompetnya, tapi aku diam saja, sampai dia mengeluarkan
sapu tangan dari dalam dompet itu.
Tercengang
sekaligus haru, sapu tangan itu, masih saja di simpannya.
“Apa
benar yang ini?” Dia menunjukkan sapu tangan itu didepan wajahku. “Dari dulu
aku penasaran siapa yang memberi ini. Makanya aku selalu membawa sapu tangan
ini di dalam dompet. Lega aku sekarang, tahu rupanya pemberian dari kamu, Riani.”
Bukan
Arif saja yang lega, aku juga sudah lega. Tapi kami menjadi canggung setelah
itu. Kami saling diam, begitu mata kami beradu, aku tak tahan untuk tak
tersenyum. Begitu terus, tanpa kami sadari, tercium bau gosong dari jagung yang
kami bakar. Biarpun gosong, aku tetap memakannya, karena grogi tadi, refleks
aku mengigitnya, dan begitu aku tersenyum, gigiku hitam semua. Dia terbahak,
aku juga ikut-ikutan. Ah, bodohnya aku.
“Kak
Riani!!!”
Tawaku
terhenti, si pengganggu muncul lagi. Lidya hari ini, entah sudah berapa kali
dia berteriak memanggilku. Aku mendelik sekilas, kali ini gelagatnya beda, dia
seperti orang yang rumahnya di rampok yang berharap mendapatkan pertolongan.
“Kak Riani, ada Bang Bayu di luar!!!”
Teriaknya sekali lagi.
Aku
tersentak mendengar nama itu. Apalagi tahu
dia datang kerumahku. Oh ya, Bayu ialah pacar pertamaku. Pria yang
memutuskanku kemarin malam. Sepertinya, sudah saatnya aku melampiaskan rasa
kesalku, yang selama 7 tahhun tak pernah Bayu dapati. Rasa kesal yang selalu ku
tutupi dengan senyuman, bahkan saat dia selingkuh sekalipun.
Lagi-lagi,
aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan mantan pacarku ini, agar
aku dapat meluapkan kemarahan yang kurasa.
Hujan
ternyata benar-benar menyampaikan permintaanku pada Tuhan. Cinta pertama dan
pacar pertama yang menjadi beban dalam hati, tanpa kuduga mereka datang
menghampiriku. Kini di malam tahun baru ini, aku akan melepaskan pikulan rasa
yang ada di hatiku.
-End-
0 Response to "Memikul Rasa"
Posting Komentar