Memikul Rasa







Mataku yang masih mengantuk terbuka setengah. Ku lirik jam dinding, menunjukkan pukul dua siang, pergantian tahun tinggal beberapa jam lagi. Panas terik kota Pontianak tetap terasa walaupun di bulan Desember. Dan siang ini aku membuka mata dengan status jomblo, setelah 7 tahun berpacaran. Wow, 7 tahun berpacaran dan putus, aku merasa hancur. Mataku bengkak karena kemarin malam aku menangis sampai lelah, wajar bukan aku baru bangun siang-siang begini. Tak lama, ponselku berbunyi, langsung ku angkat, dan omelan yang ku dapat. Di hari akhir tahun, aku bolos masuk kantor, tanpa sengaja. Bagaimana nasibku nanti jika masuk kantor, herannya tak terlalu ku fikirkan, aku masih memikirkan hubunganku yang baru saja putus.
Bukan sebentar waktu 7 tahun itu, banyak hal manis yang dilalui bersama. Dan banyak hal pahit yang hanya kupendam dalam hati. Aku itu tipe orang yang sulit mengungkapkan apa yang kurasa. Aku lebih senang memendam masalah itu, tanpa di ungkit. Contohnya, aku tahu pacarku ini selingkuh, tapi aku diam saja. Alasanku begitu, karena aku takut kehilangan pacarku. Namun pada akhirnya, pacarku itu lah yang memutuskanku. Bahkan, saat putuspun, aku tak mengomel dan marah pada pacarku, seperti perempuan kebanyakan. Aku hanya tersenyum manis sebelum aku pulang. Begitu pulang kerumah aku meraung sedih. Berteriak di balik selimut tebal. Itulah diriku. Sok kuat, senang berpura-pura menutupi apa yang kurasa. Memikul rasa itu sendiri.
Masih berbaring malas di kasur, pandangan mataku beralih ke bingkai foto yang menempel di dinding sisi kanan kamar. Di bingkai foto berwarna putih itu tertulis jelas dengan spidol hitam bertuliskan, “my first boyfriend, my first love.”
Foto sepasang kekasih berseragam SMA, pasangan itu terlihat bahagia, tampak dari senyum mereka yang merekah. Si cewek mencepol seluruh rambut belakangnya dan menyisakan poni lurus menutupi alis, yaa cewek itu aku. Dan sebelahku ialah pacar pertamaku, cowok yang 7 tahun berpacaran denganku, sekaligus cinta pertamaku. Eh, tentang cinta pertama bukan dia kok, tapi itu versi bohongku pada orang-orang selain Adikku.  Kenapa masa SMA sering kali dikaitkan dengan cinta pertama? Padahal, aku sudah merasakan perasaan suka dengan lawan jenis sejak 10 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku SMP kelas 1.
Menyimpan rapat-rapat siapa sebenarnya cinta pertamaku, rasanya pilihan yang tepat. Aku nggak mau menjelaskan, kalau sebelum pacar pertamaku itu, sudah ada pria yang mencuri hatiku terlebih dahulu. Lagi-lagi, aku yang suka memendam apa yang kurasa ini, hanya menyimpan perasaan suka itu dalam hati saja. Sudah menjadi kebiasaan, menyimpan sendiri apa yang kurasa sulit untuk aku ungkapkan, baik itu rasa suka ataupun rasa kesal.
Hei, aku tiba-tiba jadi merindukan cinta pertamaku itu. Namanya Arif Putra Herdinata. Apa kabarnya sekarang ya? Dia susah untuk ditemukan. Pernah aku iseng mencari namanya di jejaring sosial, tapi tak pernah ketemu. Hah, mustahil jika aku bertemu dengannya. Mungkin dia sudah kuliah S2 atau kerja di luar Pontianak.
Terakhir kali aku ketemu dia itu, saat dia lulus SMP, dia lanjut ke SMA manapun aku tak tahu. Dia memang lebih tua dariku dua tahun, sekarang umurnya pasti sudah 25 tahun. Kisah cinta pertamaku ini berakhir buruk, aku tak pernah mengungkapkan apa yang kurasa. Dia  mengingatku saja, aku tak tahu pasti, sebab aku hanyalah seorang secret admirer yang diam-diam menyukainya. Pernah aku memberikan sapu tangan dengan bordiran inisial namaku, “RS”, alias Riani Salim dan juga lambang hati, lalu inisial namanya. Sapu tangan itu bukan kuberikan secara langsung, tapi diam-diam, saat dia lagi jam pelajaran olahraga, aku menyelinap masuk kedalam kelasnya, dan memasukkan sapu tangan itu di dalam tas.
“Kak!!!” Tiba-tiba terdengar teriakan seorang cewek, dia sesuka hati berteriak di depan pintu kamar. Aku tahu siapa  dia, tak ada yang memanggilku dengan sebutan Kakak, dirumah ini selain Lidya, Adik bungsuku. “Buka pintunye Kakak!!!” Dia memekik lebih brutal, di tambah menggedor pintu kamar secara semena-mena.
“Buka jak, ndak dikunci.” Jawabku lemas. Sebenarnya aku lagi ingin sendiri saja. Seperti yang ku bilang tadi, sikapku begini sudah menjadi kebiasaan,  aku sulit mengungkapkan apa yang aku inginkan. Sudah sering aku begini. Kadang aku benci bahwa aku tak punya keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya kurasa.
Bruk!
Kerasnya bunyi pintu kamar yang terbuka, berbenturan dengan dinding. Dan aku dapat melihat, cewek cungkring berambut lurus sepinggul berlari bak kancil, lalu menghempaskan tubuhnya di kasurku. Dia menyengir sambil menatapku lekat. Hah, aku harus berbagi tempat dengannya. Padahal aku lagi ingin sendiri. Eh, memang pengganggu lah si Lidya ini.
“Ada apa, Dek?”
“Mandi gih, bantu Mama berkemas. Malam ini acara tahun baru di rumah kite.”
Aku tercengang. Habis putus cinta, maunya malam ini aku merenung sampai larut malam, memikirkan resolusi di tahun mendatang, tentunya aku melakukan itu sendirian. Tanpa kebisingan, tanpa ada satu orangpun yang mengganggu. Lagipula, tumben-tumbennya orang tuaku mengadakan acara tahun baru dirumah. Biasanya kami merayakan dirumah Nenek pihak Mama. Dan biasanya lagi, aku tak ikut bersama mereka, karena akan menghabiskan waktu bersama mantan pacarku itu.
Tahun lalu, aku diboncengi, menaiki motor vespanya, kami keliling Kota Pontianak, tujuannya sih mau ke tepi sungai kapuas, melihat orang-orang memainkan meriam, dan ikutan menghidupkan meriam juga, tapi rencana itu gagal, karena kami terjebak macet di jalan Gajahmada. Alhasil, kami hanya melihat kembang api yang terlihat indah, dari tepi jalan.
“Nanti aja, masih ingin sendiri.”
Wake up, Kak! Masih ingin sendiri sambil mikirin mantan pacar yang pernah selingkuh itu? Haduh, Kak, move on dong! Dia selingkuh, dan Kakak tahu itu. Kak, kalau aku jadi Kakak, pasti aku sudah memarahinya sampai puas, kita itu sebagai wanita jangan mau dibodohi laki-laki dong. Nggak ada jaminan juga kita tetap bersikap baik, bakalan terus disayang sama pacar. Toh, Kakak baik-baikin dia, ujung-ujungnya Kakak diputusin juga, kan. Saranku ya, jika Kakak punya pacar baru, jangan yang nggak jelas seperti dia, Kakak pantas dapat yang terbaik. Dan aku yakin, suatu saat mantan Kakak itu juga menyesal sudah mutusin Kakak.” Celoteh Lidya panjang lebar.
Halah, mendengarkan petuah dari seorang Adik bungsu yang notabennya masih mahasiswi baru, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya itu dengan kertas, dan mendorongnya keluar kamar. Hei, yang kukatakn tadi hanya “ingin”, bukan kenyataan yang terjadi. Faktanya aku menggut-manggut mendengar petuah Lidya.
“Jadi, yang harus Kakak lakukan ialah, mandi, terus bantu Mama di bawah. Ada kerupuk basah loh. Mama ada memesan sama temannya yang jago buat kerupuk basah.”
Wew, mendengar kata kerupuk basah, perutku meronta-ronta minta diisi. Tanpa basa-basi, aku bangkit dari tempat tidur dan berlari  menju dapur.
“Heh, Kak! Mandi dulu!!!”
“Nanti dulu, lapar ini, Dek.” Aku tak peduli. Aku lapar, dan aku ingin makan kerupuk basah. Jarang-jarang lho aku mencicipi makanan ini.
Eits, kerupuk basah ini bukan kerupuk yang di basahin ya. Hehehe. Bentuk kerupuk basah, mirip empek-empek lenjer, tapi makannya dicocol sambal kacang. Dan, rasanya enak banget deh pokoknya. Lebih enak lagi kalau aku bisa memakannya sampai 2 kali nambah. Hihihi.
“Kak Riana!!!” Teriak Lidya lagi. Tepat saat aku memegang gagang pintu.
“Emm? Apa lagi?” Refleks aku membalikan badan, dia malah menyipitkan matanya memandangku.
“Itu tuh  tugu cinta Kakak, kenapa masih bertengger di meja belajar? Kapan Kakak mau membuangnya?”
Aku menghela nafas memandang benda itu. “Nanti aku buang.” Kataku lirih, lalu melenggang keluar kamar.
“Tuh kan, Kakak belum bisa MOVE ON!” Teriak Lidya, terdengar sampai diluar kamar. Dia menekankan kata “move on” itu, seolah aku makhluk paling malang sedunia yang tak bisa berpindah ke lain hati.
Baru saja satu hari putus, belum sempat kali aku membuang tugu cinta itu. Ah, bibirku menyungging senyum setiap mengucap kata, “tugu cinta.”
Sebenarnya itu adalah miniatur Tugu Khatulistiwa. Namun, tulisan “Tugu Khatulistiwa” yang ada miniatur itu ditutupi dengan kertas yang sudah diberi lem dan tulisannya di ganti dengan “tugu cinta”. Jika Tugu Khatulistiwa adalah titik nol kulminasi, dimana bayangan dapat hilang sejenak pada tanggal tertentu. Maka, tugu cinta ini adalah titik kulminasi hati kami, dimana kemarahan akan hilang sejenak ketika kami melihat tugu ini, begitulah kata mantan pcarku itu.
Aneh, ya? Memang aneh dan kekanak-kanakan. Miniatur Tugu Khatulistiwa ini di beli sepasang, satu untuk dan satu untuk mantan pacarku. Kami membelinya saat study tour, pada saat perayaan titik kulminasi. Waktu itu kami masih SMA, dan kami membuat kenangan manis disana, di kawasan Tugu Khatulistiwa.
Setiap kakiku melangkah, menuruni anak tangga rumah, aku semakin mengingat setiap langkah hubunganku dengannya dari awal kami berpacaran. Tujuh tahun, rasanya cepat sekali berlalu.
“Riana, bantu Mama sini, Nak.” Mama membuyarkan lamunanku, dan menyambutku dengan wajah super hangatnya itu.
Kakipun melangkah cepat menghampirinya. Nah, jika disuruh Mama, aku dengan senang hati melakukan apapun tanpa beban, karena dia wanita yang membuatku ada di muka bumi ini. Wujud rasa terima kasihku padanya, ya dengan membantu apa yang beliau suruh.
***
Kretek... Kretek...
Bunyi tulang punggungku, setelah puas duduk dua jam mengupas jagung, mengupas bawang, menumbuk bumbu ayam bakar, memotong-motong kerupuk basah. Tugas yang Mama suruh sudah selesai semua, dan aku sempat lupa dengan tujuan awalku, yaitu MAKAN.
Mama memesan kerupuk basahnya banyak banget. Aku bisa nambah sepuasnya, tapi kata Mama kerupuk basahnya juga untuk acara tahun baru nanti malam, jadi makananku sedikit dibatasi. Cukuplah 2 kali nambah, mengingat kemarin malam aku tak tentu makan.
Perut kenyang hati pun tenang. Eh, nggak juga. Hatiku masih mendung, efek habis putus cinta. Sore ini tiba-tiba langit berubah mendung juga, sama seperti hatiku. Aku membuat kopi sachet dan duduk di balkon atas rumah. Melamun sendirian disini, menyesap kopi hangat. Tahun 2013 akan segera berakhir. Perlahan aku menyadari aku yang masih gini-gini aja. Masih betah kerja di salah satu kantor swasta dengan gaji yang tak sesuai dengan rasa capek yang di dapat. Masih saja sulit menolak untuk membonceng temanku setiap hari berangkat kerja, padahal jarak rumahnya itu tak satu arah denganku.
Pernah temanku bilang, kalau aku itu jarang sekali mengatakan tidak jika disuruh atau diminta apapun. Hah, memang benar. Asal mereka tahu, ada kalanya aku mau memang karena hatiku mau, dan ada kalanya aku mau namun aku tak bisa mengungkapkan kata tidak.
Kapan ya aku bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya ku rasa? Aku lelah memikul setiap rasa yang sebenarnya ingin aku curahkan, ingin aku lampiaskan, dan ingin aku hempaskan. Sebenarnya, ada dua rasa yang ku pikul sejak lama. Yaitu rasa kesal kepada pacar pertamaku, dan rasa suka yang belum terungkap kepada cinta pertamaku. Jika Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan mantan pacarku lagi, aku akan melampiaskan rasa kesalku sepuasnya. Dan jika Tuhan memberikan kesempatan bertemu cinta pertamaku, aku akan mencurahkan apa yang kurasa dulu. Agar dia tahu, dialah cinta pertamaku.
Hah, itu hanya angan-angan saja. Semua sudah berlalu, meninggalkanku. Pipi terasa basah, aku menangis lagi. Langit memang bersahabat denganku hari ini, ia ikut menangis juga. “Wahai hujan, dapatkah kau sampaikan pada Tuhan, apa yang ku inginkan tadi?”
***
“Hei, melamun aja, udah mau maghrib, sapa dulu gih teman-teman Abang di bawah. Mereka ikut acara tahun baruan dirumah kite.” Pria berambut cepak memakai kemeja rapi ini mengusap-usap kepalaku pelan. Dia Abang kandungku, sekaligus anak tertua dirumah ini. Namanya Ridho.
“Males.” Jawabku singkat, aku kembali menatap langit yang semakin deras menangis itu, mulai tertutup awan gelap. Abang dan Adikku sama saja. Sama-sama mengganggu ketenanganku yang lagi ingin sendiri.
“Abang ada bawa teman-teman cowok Abang, khusus untuk kau.” Katanya lagi-lagi sambil mengelus pelan kepalaku. Beda denganku yang menampakkan ekspresi keheranan dengan mengernyitkan dahi. Berfikir sejenak, Kenapa Abangku tahu aku sudah jomblo? Padahal dia kan tahu, aku itu dulunya punya pacar, dan mana mungkin dia tahu aku putus, toh baru putusnya saja kemarin malam.
“Tahu dari Lidya, Bang?” tanyaku lirih, menayakan apa yang membuatku penasaran. Toh, mana pernah aku cerita urusan cinta dengan Abangku.
Dia mengangguk mantap, lalu tersenyum. “Banyak yang ganteng-ganteng, Dek! Tapi mandi dulu lah, kayaknye kau belum mandi dari pagi lah. Iye kan? Masih bau soalnye.”
Aku mendengus kesal menatapnya, dan langsung pergi begitu saja, masuk ke dalam kamar, lalu ke kamar mandi. Tentu saja aku akan mandi.
Siapa yang mau badan bau keringat karena nggak mandi seharian, lalu bertemu dengan orang-orang. Bukan karena teman-teman Abangku yang katanya gantentg-ganteng itu, aku langsung mandi. Hanya saja, tak mungkin terlihat jorok dan bau. Aku juga bukan cewek genit yang dengan mudah bisa tergoda dengan pria lain. Tak seperti Lidya yang sudah tampil berlebihan, mengenakan long dress, seperti ingin pergi ke pesta, terus riasan di wajahnya juga ketebalan.
“Yuk kita ke bawah, Kak!” Serunya berdiri di depan pintu kamarku, menanti aku yang lagi berkaca, memakai riasan yang natural. Soal pakaian, aku santai saja. Baju dengan kerah sabrina dan celana jump suit. Tak lama aku menghampirinya, dan kami sama-sama turun ke bawah.
Lidya berdecak memandangiku, dia bilang gayaku ini terlalu biasa. Riasanku juga tak terlalu tampak. Dia bilang kami harus tampil cantik. Sebab, ada banyak teman Bang Ridho, dan mungkin saja akan ada yang jatuh hati jika kami berdandan cantik malam ini.
Lidya terus mengoceh, tapi aku tak begitu jelas mendengar apa yang dia ucapkan, pandangan mengarah ke ponsel, aku menanyakan keadaan kantor pada teman sekantorku.
“Tuh, cowok yang pakai kemeja biru muda, ganteng ndak, Kak?” tanya dia menyikut tanganku. Mau tak mau aku mendongakkan wajah, memandang ke cowok yang ciri-cirinya Lidya sebut.
“Lid!!!” Tanganku gemetar mencengkram tangan Lidya, kakiku lemas melihat apa yang ku lihat. “Die bukannye Arif ye, ngapain die kesini?” bisikku.
“Arif? Arif siape?” Lidya celingak celinguk mencari. Percuma dia celingukan seperti apapun, mana dia pernah melihat Arif sebelumnya. Dia mengenal Arif dari ceritaku saja.
“Yaelah, Arif cinte pertame aku. Biarpun ndak ketemu 10 tahun lamaknye, biarpun gaye pakaian dan rambutnye ndak belah tengah agik, aku tahu itu die.”
“He’eh... Iye ke? Mane aku pernah lihat muke die, Kak. Kalau gitu, aku ngincar cowok yang pakai kemeja merah itu jak ye.” Jawabnya seraya meninggalkanku yang masih saja terpaku.
Gila, hujan benar-benar menyampaikan apa yang ku inginkan pada Tuhan, dan kesempatan bertemu cinta pertamaku yang sudah lama tak bertemu itu, muncul kembali.
“Riani, sini!!!” Bang Ridho berjalan menghampiri dan menarik tanganku pelan, sambil berjalan. Terpaksa aku ikut berjalan di belakangnya. Sampailah kami di hadapan teman-teman Bang Ridho yang lagi duduk-duduk santai diruang tamu.
“Gimana? Cakep-cakep kan?” Tanya Bang Ridho, dari nada suaranya, terdengar ia bersemangat menjadi pak comblang untukku. Aku menunduk malu, tapi kepala ini manggut-manggut, dan senyuman merekah memandangi Arif.
***
Acara tahun baru di penghujung 2013, kuhabiskan merayakannya bersama orang-orang terkasih dirumah. Keluarga dari pihak Mama mulai berdatangan, mereka duduk bercengkrama di ruang keluarga lantai bawah. Untuk anak-anak muda, kami duduk menonton film horor di lantai atas. Teman-teman Bang Ridho ada yang pulang, tapi tidak dengan Arif dan beberapa teman lainnya. Apa ya namanya perasaan ini, mau dibilang senang, aku tak terlalu senang. Padahal, dulu momen inilah yang kuharapkan, momen yang dulu sulit sekali untuk sedekat ini dengannya, malam tahun baru ini, pertama kalinya aku dapat mendengar suara Arif menyapa namaku.
Selepas menonton film horor, sekitar jam sembilan, barulah kami bakar-bakar jagung dan ayam di halaman belakang. Selama menonton film horor tadi tak ada yang lebih horor, dibandingkan dengan ketangkap basahnya aku menatap Arif diam-diam. Terlalu ceroboh, sampai kami bakar-bakaran di halaman depan, giliran Arif yang sering curi pandang. Dia juga berdiri didekatku.
“Apa kita pernah ketemu? Dimana gitu ya?” Celetuk Arif tiba-tiba.
Aku tahu dia memandangku, jelas-jelas aku merasa ada yang mengawasiku sejak kami di halaman belakang dan bola matanya itu tak ia alihkan ke arah lain, sebelum aku menjawab. Bibir ini kelu mau menjawab, ku lanjutkan saja mengolesi jagung dengan mentega, biarkan saja aku diam. Masa aku harus menjawab iya dan mengaku kalau aku pernah menyukainya dan dia ialah cinta pertamaku? Eh tapi, aku pernah meminta kesempatan pada Tuhan, jadi, apa ini kesempatan yang ku pinta tadi?
“Emmm... Mungkin Abang satu sekolah kali dengan Kak Riani. Kakakku itu dulunya di Sekolah dasar negeri 18, Sekolah menengah pertama 2, dan Sekolah menengah atas 7. Apa ada yang sama sekolahnya?” Lidya angkat bicara. Dan dia malah membuatku cemas. Mulut embernya itu, bisa saja bilang kenyataan bahwa aku pernah menyukai Arif.
“Aaa, sama! Waktu sekolah menengah pertamanya, pantas saja, rasanya pernah melihat.” Jawab Arif cengegesan, sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Detik itu juga, aku masuk kedalam kamar. Memahami perasaan kacau dalam hati. Tuhan sudah memberi kesempatan untuk bertemu dengan Arif yang jelas-jelas bertahun-tahun tak ku temui. Seharusnya aku mengungkapkan kebenaran akan perasaanku dulu, agar pikulan perasaan ini dapat berkurang. Bukannya begitu?
Bolak balik seperti seterikaan, aku mengumpulkan keberanian untuk berkata yang sebenarnya.
***
“Bang Arif, boleh minta waktunya sebentar?” tanyaku kaku seperti robot produk gagal. Dia lagi mengipas-ngipas pembakaran saat aku bertanya, fokus sekali ia membakar jagung, sampai-sampai aku yang ada di depannya saja tak ia pandang.
“Boleh, ada apa?”
Aku menghelas nafas panjang, berulang kali sampai aku merasa tenang. Sayangnya perasaan ini tak kunjung tenang. Beban rasa ini harus aku ungkapkan. Ini juga janjiku jika aku diberi kesempatan bertemu dengannya, dan aku harus memenuhi janji ini.
“Dulu, pernah menerima sapu tangan  dengan bordiran inisial nama?” tanyaku pelan, mesih dengan logat bicara yang kaku.
“Iya, kenapa kamu tahu tentang itu?” kejarnya, mungkin dia penasaran. Matanya kini menatapku dengan perasaan berharap aku menjawabnya pertanyaannya dengan cepat.
“Emm... Itu....”
“Emm... Karena sapu tangan itu aku yang buat, Bang. Karena Abang cinta pertama aku, diam-diam aku menyimpannya di dalam tas Abang dulu.” Jawabku menunduk malu, tak berani menatap wajahnya. Helaan nafas ku hembuskan setelah mengungkapkan kebenaran itu.
Hening, tak kudengar suaranya.
Kuberanikan diri menengadahkan wajah, menatap wajahnya. Ekspresi dari wajahnya itu sulit untukku tebak. Dia tidak tersenyum, dan tak juga bermuram. Kulihat, dia seperti merogoh sesuatu di saku belakangnya. Ah, dia merogoh kocek dan mengambil dompet. Bingung kenapa dia mengambil dompetnya, tapi aku diam saja, sampai dia mengeluarkan sapu tangan dari dalam dompet itu.
Tercengang sekaligus haru, sapu tangan itu, masih saja di simpannya.
“Apa benar yang ini?” Dia menunjukkan sapu tangan itu didepan wajahku. “Dari dulu aku penasaran siapa yang memberi ini. Makanya aku selalu membawa sapu tangan ini di dalam dompet. Lega aku sekarang, tahu rupanya pemberian dari kamu, Riani.”
Bukan Arif saja yang lega, aku juga sudah lega. Tapi kami menjadi canggung setelah itu. Kami saling diam, begitu mata kami beradu, aku tak tahan untuk tak tersenyum. Begitu terus, tanpa kami sadari, tercium bau gosong dari jagung yang kami bakar. Biarpun gosong, aku tetap memakannya, karena grogi tadi, refleks aku mengigitnya, dan begitu aku tersenyum, gigiku hitam semua. Dia terbahak, aku juga ikut-ikutan. Ah, bodohnya aku.
“Kak Riani!!!”
Tawaku terhenti, si pengganggu muncul lagi. Lidya hari ini, entah sudah berapa kali dia berteriak memanggilku. Aku mendelik sekilas, kali ini gelagatnya beda, dia seperti orang yang rumahnya di rampok yang berharap mendapatkan pertolongan.
 “Kak Riani, ada Bang Bayu di luar!!!” Teriaknya sekali lagi.
Aku tersentak mendengar nama itu. Apalagi tahu  dia datang kerumahku. Oh ya, Bayu ialah pacar pertamaku. Pria yang memutuskanku kemarin malam. Sepertinya, sudah saatnya aku melampiaskan rasa kesalku, yang selama 7 tahhun tak pernah Bayu dapati. Rasa kesal yang selalu ku tutupi dengan senyuman, bahkan saat dia selingkuh sekalipun.
Lagi-lagi, aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bertemu dengan mantan pacarku ini, agar aku dapat meluapkan kemarahan yang kurasa.
Hujan ternyata benar-benar menyampaikan permintaanku pada Tuhan. Cinta pertama dan pacar pertama yang menjadi beban dalam hati, tanpa kuduga mereka datang menghampiriku. Kini di malam tahun baru ini, aku akan melepaskan pikulan rasa yang ada di hatiku.
                                                          -End-

0 Response to "Memikul Rasa"

Posting Komentar