#JCDD2 Mencintaimu Tanpa Syarat - Asriani

Cinta ini memang sengaja tak kuungkap hingga waktu yang tepat itu datang. Namun jika memang tak ada kesempatan mengungkapkan apa yang kurasa padamu, cinta ini akan terus kusimpan dalam hati. Karena aku mencintaimu tanpa syarat untuk harus memilikimu.

Aku rindu masa-masa yang lalu, saat dimana gadis manis berambut hitam itu masih terus mengejarku. Mengirimiku pesan singkat setiap hari, dan juga suara lembutnya bak penyemangat dari ujung telepon kala aku sedang menjalani ujian ataupun kuis di kampus. Dari semua wanita yang berusaha mendekatiku, hanya ia yang paling tangguh. Ia mengejarku tanpa henti. Ketulusannya membuatku sedikit demi sedikit luluh.
Aku ingat, pertama kali ia memberanikan diri komunikasi padaku diluar waktu kampus, ia mengucapkan selamat atas kelulusanku menjadi seorang sarjana hukum melalui pesan singkat pada malam hari setelah aku ujian kompre.Ia juga memberikan namanya diakhir pesan, agar aku tahu kalau itu dia. Aku si tipe cowok yang paling malas untuk meladeni orang yang tak kukenal dekat pun jelas kujawab pesan singkatnya itu secarasingkat padat dan jelas, dengan kata “terima kasih”.
Entah darimana keberanian itu muncul lagi, ia menanyai kabarku dan sedang apa pada waktu itu? Aku tersenyum membaca pesan itu sambil membayangkan wajah manisnya, dan akhirnya kubalas juga, tapi lagi-lagi kujawab dengan singkat. Dan lagi-lagi ia mempunyai seribu pertanyaan dan topik pembicaraan agar tetap terus berkomunikasi padaku melalui pesan singkat. Sampai ia mengetahui aku melanjutkan kuliah S2 di kota Yogyakarta.
Kupikir ia tak akan bosan bersikap seperti penuh perhatian padaku, tapi nyatanya aku salah. Terakhir kali kudengar, katanya ia lelah. Ya, ia lelah dengan sikapku yang dingin seperti es dikutub utara. Ia juga menegaskan, tak akan ada yang betah dengan sikapku jika aku terus seperti ini.
Awalnya aku marah dikatai seperti itu, aku kecewa padanya yang tak bisa bertahan dengan sikapku. Setelah kupikir, memang benar katanya, siapa juga yang akan tahan jika berada di kutub utara? Ucapannya itu menjelaskan, bahwa wanita mana yang akan bertahan dengan status hubungan tak jelas.
Aku kembali mengingat percakapan melalui telepon tempo hari. Percakapan terakhir kami.
“Hubungan kita ini apa sih, Bang?!” Tanya gadis manis itudari ujung telepon berulang kali yang kujawab dengan diam sampai ialelah untuk bertanya lagi.
Demi Tuhan, dalam hati aku benar-benar  menyukainya, aku menyayanginya, dan aku menginginkannya. Tapi rasa ini belum saatnya untuk aku ungkapkan. Belum, karena aku menginginkan ta’aruf, bukan pacaran seperti yang dilakukan pasangan-pasangan pada umumnya. Bagiku dengan cara seperti itu aku menjaganya.
“Emm, kita teman baik, Dek.”
“Teman? Oh, aku paham, ini semua hanya bertepuk sebelah tangan. Salah jika aku menilai kamu juga suka denganku, Bang!!!” Asumsinya penuh amarah.
Padahal, ia benar jika ia menebak aku suka padanya. Pria mana yang tak akan luluh jika dibanjiri sejuta perhatian tulus dari gadis manis dan baik hati sepertinya.
“Bukan begitu maksudku, Dek.”
“Lalu apa kita ini? Jika kamu suka padaku seharusnya kamu bilang. Sudahlah, aku kayaknya nggak akan menghubungi kamu lagi, aku capek dengan hubungan nggak jelas gini! Sukses untuk kuliahmu disana, dan semoga kamu dapat pekerjaan disana juga, Bang. Jadi, aku tak ada kesempatan untuk ketemu kamu lagi!”
Tut... Tut... Tut... Telepon terputus secara sengaja olehnya.
Ingin rasanya aku merutuk diriku sendiri karena tak mampu berkata apa-apa. Seperti apa yang ia bilang, sejak saat itu ia tak ada menghubungiku lagi. Dan aku, tetap menjadi si pengecut yang tak ada keberanian untuk menjelaskan bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Aku tetap pada prinsipku yang akan mengungkapkan semuanya setelah aku merasa cukup pantas untuk menikahinya.
***
Setahun berlalu, aku kembali ke kota kelahiranku, Pontianak.Aku kembali lebih awal dari prediksi yang direncanakan. Kuliah di sana terpaksa belum diselesaikan. Sebab, aku diterima di salah satu BUMN kota Pontianak, saat aku melamar di kota Yogyakarta.
Ketika bandara aku sudah dijemput orang-orang yang kurindukan. Mereka adalah keluargaku, ada ayah, ibu, kakak dan adik bungsuku. Ada yang kurang sebenarnya, gadis manis itu, ia juga termasuk salah satu orang yang kurindukan. Ah, tapi mana ia tahu aku pulang ke Pontianak secepat ini. Gadis manis itu, ia yang mungkin sekarang telah membenciku. Andai ia dapat bertahan dengan sikapku yang ia bilang dingin itu, mungkin beberapa minggu lagi aku akan melamarnya. Huh, andai saja.
Hampir 3 bulan aku bekerja, tapi aku masih saja belum bertemu dengan gadis manisku dan aku hanya memikirkannya. Kata temanku, di kantor aku sering melamun.Sama seperti di rumah makan khas melayu ini, lagi-lagi aku mengenangnya. Ia pernah bilang, jika sedang susah, ingat saja senyumannya dan ia pasti akan ikut tersenyum. Senyum gadis manis itu seolah penyemangat yang sering muncul ketika aku sedang susah.
Woi jangan ngelamon sambil senyum! Nanti orang-orang pade nyangke kau orang gile.” Tepukan dipundak membuatku tersadar dari lamunan, lebih tepatnya membuatku terkejut. Orang yang menepuk secara kasar itu teman sekantorku, Rangga namanya. Bukannya marah karena kesakitan, aku malah cengar cengir mengelus pundakku.
“Kau maok pesan ape, Ki?” Tanya Rangga tak sabaran.
Same kayak kau jak lah. Kau pesankanpunya aku juga ye? Aku”
“Halah, dasar pemalas,” keluh Rangga sambil mencibirkan bibir tipisnya.
Pria dengan perawakan cowok kutu buku itu berjalan meninggalkan tempat duduk ke kasir. Rumah makan yang satu ini agak beda, pembayaran dan pemesanan dilakukan bersamaan. Tak ada pelayan yang mengantarkan makanan, pembeli juga yang berdiri menunggu hingga makanannya siap  disajikan.
Beruntung mempunyai teman sekantor seperti Rangga ini. Ia satu-satunya teman yang betah dekat denganku.Sama seperti gadis manisku, orang-orang dikantor juga bilang, kalau aku ini orangnya dingin.Sebenarnya hampir semua orang yang mengenalku juga bilang begitu. Aku yang irit ngomong dan selalu jawab pembicaraan seadanya membuat orang-orang malas berbicara banyak padaku lagi. Aku heran kenapa Rangga mau bergaul denganku, apa karena hanya aku satu-satunya pegawai baru dikantor yang bisa dijadikannya teman? Entahlah. Mau apapun alasannya, yang penting, setiap makan siang, aku tak perlu sendirian.
Aku membicarakannya dalam hati, tanpa sadar ia sudah membawa dua piring nasi dengan lauk yang kutebak lezat hanya dari aromanya, pacri nanas dan ikan asam pedas.
Seperti kuli yang sudah tak makan 3 hari, aku menyantap lahap makanan itu. Beda denganku, Rangga sibuk dengan ponselnya, wajahnya terlihat kusut.
“Kau tahu, calon istriku ini orangnya plin plan. Katanya saja mau melangsungkan pesta pernikahan dirumahnya, dengan alasan akan terasa suasana pernikahan, karena banyak keluarga yang datang menginap. Tapi, sekarang menjelang 1 bulan pernikahan kami, ia mendadak ingin melangsungkan pesta pernikahan di gedung, dengan alasan banyaknya orang yang akan diundang.”
Mulutku penuh nasi mengulum senyum. Aku meneguk air putih sebelum memberi tanggapan. “Turuti saja mau calon istri kau.”Jawabku singkat.
“Masalahnya, gedung-gedung di Pontianak sudah full booking semua, Ki. Istriku suruh cari sampai dapat pula. Mana mungkin ada. Egois sekali dia. Buat aku pusing tujuh keliling. Dia tadi sms, nggak akan mau komunikasi sama aku kalau aku belum menemukan Dia nggak percaya kalau aku ini udah kesana kemari.”
Aku mendeliknya sebentar, tanpa membuka mulutku. Ya aku hanya bisa diam memberikan pendapat tentang keluhan Rangga.
“Kasih pendapat dong, Ki. Aku mesti gimana? Kalau kau tetap diam, sama jak aku ngomong sama patung.”
“Pujuk jak secara halus, terus kasih dia pengertian. Kalau perlu kau foto buku reservasi di setiap gedung dan hotel untuk bulan depan, biar dia lebih percaya.” Jawabku seadanya. Aku tak tahu harus memberikan pendapat panjang lebar. Lebih tepatnya aku tak mau ikut campur lebih banyak. Masalah yang ia alami seharusnya ia selesaikan sendiri dengan calon istrinya itu.
“Nah! Jenius kau!” Rangga tampak puas mendengar jawabanku. Aku jadi heran sendiri. Padahal aku hanya asal menjawab.“Ngomong-ngomong kau sudah ada calon istri, Ki?” Lanjutnya.
Ah, pertanyaan macam apa itu. Aku menggeleng lemas, lagi-lagi teringat dengan gadis manisku.Bagiku ia calon istriku, itupun kalau ia masih tertarik dan mau bertemu denganku.
“Tuh banyak cewek-cewek di meja pojok itu, deketin aja salah satunya kali aja ada yang kecantol sama kau.” Kepalanya menoleh ke gerombolan wanita usia 20-an tahun. Otomatis aku juga ikut menoleh. Dapat kutebak, dari pakaian mereka itu, mereka juga pegawai kantor yang lagi makan siang.
Diantara wanita berbedak tebal itu, aku dapat melihat seseorang yang kukenal. “Novi?”  Tanyaku dalam hati. Ya, hanya dalam hati.
Hatiku senang. Bibir merekah senyum. Aku menemukannya disini. Tapi ada yang beda dengannya. Ia bukan lagi gadis manis dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang, rambut panjang dikuncir kuda, tas ransel yang melekat dipundaknya, dan skinny jeans yang membuat kaki jenjangnya itu terbungkus cantik.Sekarang ia berpakaian seperti wanita karir pada umumnya. Dan hei, ia mengenakan rok span yang menampakkan betis mulusnya itu. Aku yakin, sangat yakin, pria yang ada disini dapat mengakui jika gadis manisku ini termasuk dalam kategori wanita cantik.
“Tuh kan, kau langsung naksir dari salah satu diantara mereka, bukan?” Seru Rangga kegirangan, diiringi tawa diakhir kalimat, ia menepuk pundakku berulang kali.
***
Pertemuan dengan gadis manisku secara tak sengaja kemarin itu, kurasa bukanlah hal kebetulan semata. Aku percaya ada campur tangan Tuhan dalam cerita kami. Ya, itu pasti. Jika Tuhan sudah meridhoi, pasti ada jalannya untuk bertemu. Padahal aku sudah ancang-ancang mencari tahu bagaimana kabarnya sekarang melalui jejaring sosial. Eits, walaupun sudah bertemu dan tahu ia baik-baik saja, aku malah tambah penasaran dengannya. Dari pulang kerja sampai malam begini, aku yang masih memakai pakaian kantor. Keasyikan setelah menemukan akun Novi. Novi itu memang aktif di media sosial, baik facebook ataupun twitter.Hampir setiap hari ia posting status. Foto-fotonya dengan berbagai macam gaya pun juga membuatku gemas.
Dulu saja, ia sering menanyakan, kenapa aku tak pernah membuat jejaring sosial.Dan membujukku untuk membuat jejaring sosial,
“Kenapa kamu nggak turun kebawah? Makan malam dulu.” Tegur suara wanita dari depan pintu. Tanpa memalingkan wajah dari depan layar komputer, aku sudah tahu siapa wanita itu. Ia mamaku.
“Sudah kenyang, Ma. Aku dikamar jak. Masih ada kerjaan juga.” Kilahku.
Mama tak beranjak keluar kamar, ia malah berjalan mendekatiku. Takut ketahuan berbohong.Cepat-cepat kututup akun facebook dan twitter sebelum mama duduk disebelahku.
“Nak, besok kita kerumahnya teman Mama ya?” Tanya mama.
“Temani arisan?”
“Iya, sekalian Mama mau jodohin kamu dengan anak teman mama. Anaknya cantik, pintar dan baik pula. Latar belakang keluarganya sudah pasti dari keluarga baik-baik. Pokoknya kamu pasti suka.
“Aduh, ini sudah berapa kali mama coba untuk jodohin aku.”
“Habisnya kau itu, kalau nggak dicariin, mana mau cari sendiri.”
Aku menghela nafas panjang. Biasanya aku kabur keluar kamar dan besoknya pura-pura ada kesibukan diluar biar nggak bertemu dengan calon kandidat cewek yang akan dijodohkan denganku. Kali ini beda. Aku sudah menemukan calonku. Tinggal mengungkapkan apa yang kurasa, lalu berharap ia masih memiliki rasa denganku. Dan, mama tak perlu sibuk-sibuk memikirkan bagaimana aku nanti jika jadi perjaka tua.
“Aku bisa cari sendiri, dan aku sudah ada calonnya.” Kataku penuh percaya diri. Dalam hati heran juga, kenapa aku bisa yakin, belum tentu Novi masih menyukaiku.  Apa ini firasat kalau Novi juga masih menyukaiku? Entahlah.
“Akhirnya!” Seru mama tersenyum senang. “Kau ndak bohong? Sudah berapa lama kalian pacaran? Kenal darimana? Siapa namanya? Kerja dimana dia? Orang tuanya kerja apa juga?”Masih dengan senyuman yang tergurat dibibir tipisnya, mama penuh antusias menanyakan pertanyaan itu.
Kepalaku yang tak gatal kugaruk secara brutal. Menjawab pertanyaan mama sesusah menjawab soal logaritma. Secara aku bukan tipe orang pencerita yang dengan mudah menceritakanhubungan yang menyangkut perasaan cinta ini dengan luwes.
“Nanti ya ma, nanti aku akan bawa dia kerumah, baru deh mama tanya panjang lebar sama orangnya secara langsung.”
“Tapi kapan kau mau bawa dia kerumah kita?”
Kapan? Bertemu dengan Novi kemarin sajakarena kebetulan. Bingung sendiri sekarang aku mau jawab apa.
“Pokoknya nanti pasti aku bawa dia, tunggu waktu yang tepat.”
Ya, waktu yang tepat itu entah kapan, kuharap dapat secepatnya.
“Iyelah, jangan sampai kau beri harapan palsu ke mamak jak. Kalau ternyate kau bualkan mamak. Pokoknye kau ndak boleh nolak mamak jodohkan same anak teman mamak ye?”
Aku hanya mengangguk lesu. Oh Tuhan, pertemukanlah aku dengan Novi lagi. Semoga impianku dapat meminangnya segera terwujud.
***
Harapan tanpa usaha sama saja omong kosong. Maka dari itu aku akan berusaha. Salah satu cara untuk dapat bertemu dengan Novi lagi, ya datang ketempat makan siang kemarin. Padahal rumah makan itu cukup jauh dari kantor. Bisa dibilang kemarin aku dan Rangga terjebak makan disana karena rumah makan di dekat kantor ramai pengunjung. Otomatis kami tak dapat tempat duduk.
Sebelum Rangga menghidupkan mesin mobil, aku memintanya untuk makan di tempat kemarin saja. Rangga tertawa kecil dan menggodaku, katanya aku datang kesana hanya berharap dapat bertemu dengan perempuan cantik kemarin. Tebakannya benar, tapi aku tak mau mengakui itu. Aku berkilah, kalau makanannya yang enak, dan aku sudah sreg dengan makanan disana.
Sepanjang jalan Rangga terus menggodaku. Mengajarkanku jurus-jurus mendekati wanita itu. Ajarannya itu kepadaku, sudah seperti guru kepada anak TK yang masih harus diajarkan bagaimana caranya makan tak belepotan. Aku mendengus dalam hati. Asal ia tahu, aku sudah kenal dengan Novi sejak lama. Jika kami bertemu lagi, aku akan menegurnya dan berharap hubungan kami dapat kembali seperti sebelumnya. Eh, tidak, kuharap akan lebih baik dari sebelumnya. Karena aku tak ingin ia merasa seperti di kutub utara jika berada didekatku.
Terlalu banyak memikirkan Novi dalam khayalan, tanpa sadar mobil sudah terparkir didepan rumah makan.Aku turun dari mobil dengan tampang celingukan mencari seseorang, Rangga berkutat dengan ponselnya. Rangga berhenti menggodaku sejak ia sibuk dengan ponselnya itu.Raut wajahnya beda dengan kemarin, sering ia menyelipkan senyum sembari menarikan jempolnya di keypad ponsel. Mungkin saja masalah tentang gedung pernikahan itu sudah beres.Tak apa lah Rangga begitu, setidaknya untuk beberapa saatia tak menggodaku lagi. Bisa malu aku dibuatnya. Bukannya apa, suara Rangga itu nyaring. Apalagi ketawanya. Huh, mana mau aku jadi pusat perhatian karena di goda masalah wanita.
Efek dari kesibukannya dengan ponsel, giliran Rangga memintaku memesan makanan. Ia meminta menunya sama lagi dengan kemarin. Aku mengiyakannya dan segera bergegas menuju antrian yang sepertinya lebih ramai dari kemarin.
Baru beberapa langkah aku berjalan dari mejaku. Mataku berbinar. Usahaku kemari tak sia-sia. Benar ada Novi lagi disini. Di meja yang sama, bersama teman-temannya.
Bukannya berjalan bujur terus memesan makanan, kakiku melangkah pasti belok kearah kiri menuju ke meja dimana Novi duduk. Berhenti tepat dimejanya. Aku memperhatikannya dari atas kebawah sambil tersenyum senang.Sudah kubilang, ini semua direncanakan Tuhan. Ada campur tangan Tuhan disini. Tuhan memang berpihak padaku.Thanks God.
“Bang, kalau liat kawan saye, ndak usah sampe segitunye juga kali!”
Kepalaku seperti dilempar batu karena omongan wanita tadi. Mau kabur pun entah kenapa kaki sulit melangkah. Aku tahu, wanita-wanita dimeja ini sedang memandangiku.Pastinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Akupun grogi kalau begini. Aku harus bilang apa. Mustahil aku bilang aku takjub karena menemukan seseorang yang aku rindukan, walaupun itu benar adanya. Aku hanya menahan malu dengan tersenyum selebar mungkin dan mengusap wajahku yang mengucurkan keringat dingin.
“Nih, tisu!” Ujar suara wanita yang kukenal. Namun dengan nada dingin.Dan tatapan matanya sinis sekali. Ia menjulurkan kotak tisu tepat didepan wajahku. Hampir mengenai wajahku. Dengan cepat aku mengambil sehelai tisu dan mengusapkannya secara asal. Setelah itu, ia menaruh kotak tisu secara kasar. Eh bukan menaruh, tapi menghempaskan. Gayanya ini seperti manusia yang tak pernah diajarkan sopan santun.
“Kamu, Novi kan?” Tanyaku meyakinkan.
“Ya! Ada perlu apa?!”
Nyaliku menciut. Dibentak seseorang yang disayang, lebih mengerikan daripada harus berdiri ditempat ketinggian.
“Apa kabar, Novi?” Tanyaku terbata-bata. Aku yakin, teman-teman Novi pasti menahan tawa, karena tingkahku sudah seperti alien yang baru belajar bahasa manusia bumi.
“Baik.” Jawabnya singkat. Sekarang malah nyaris tanpa ekspresi. Datar sekali.
“Soal yang tempo hari itu... Aku...”
“Udah, jangan dibahas lagi!” Potongnya ketus.
Nyaliku menciut lagi, mungkin lebih kecil dari upil. Reaksinya diluar dugaanku.
“Maafkan aku, pasti kamu masih marah, kan? Aku punya alasan sendiri untuk bersikap seperti tempo hari, kamu harus tahu yang sebenarnya, Nov.”
“Maaf apaan sih? Aku sudah tahu semuanya. Udahlah, pergi sana! Jangan ganggu aku lagi makan!”
Aku menggelengkan kepala keheranan sembari melangkah pelan meninggalkan mejanya. Gadis manis yang kukenal seperti monster mengerikan sekarang. Anehnya, sikapnya ini tak membuat sayangku berkurang. Aku menyalahkan diriku sendiri, karena telah menyia-nyiakannya dahulu.
Baru beberapa langkah dari mejanya, samar-samar kudengar, salah satu teman Novi berbisik, apa Novi benar mengenalku? Dan samar-samar juga Novi bilang kalau aku hanya orang aneh. Mendengar percakapan itu, aku tersenyum kecut.
Dalam hati aku meringis, jadi begini toh rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Namun peristiwa hari ini tak akan membuatku patah semangat untuk mengejar Novi. Aku akan membuatnya luluh dan menyukaiku lagi. Tiap hari aku akan makan dirumah makan ini. Tujuanku begini hanya satu, aku ingin hubunganku membaik dengan Novi, lalu aku ingin mengungkapkan perasaanku. Soal ia mau atau tidak, aku tak akan memaksa. Yang terpenting aku sudah usaha.
***
Hampir sebulan sudah, tak ada perkembangan apapun dari hubunganku dengan Novi. Ia terus bersikap dingin padaku. Dan yang membuatku gemang, sejak seminggu yang lalu, Novi tak pernah datang kerumah makan ini lagi. Kabar tentangnya di media sosial pun tak pernah update lagi. Aku cemas. Aku takut terjadi hal yang tak menyenangkan terjadi pada Novi. Atau, ia hanya menghindariku saja?
Daripada memikirkan yang belum jelas kebenarannya, tindakan aneh pun kulakukan. Kali ini aku diam-diam akan menunggu Novi keluar dari kantor. Soal dimana aku mengetahui dimana kantornya itu, ya dari jejaring sosialnya. Khusus kali ini juga, aku ijin pulang awal dari kantor dengan alasan sakit, hanya untuk Novi, gadis manisku.
Mataku awas memandangi setiap orang yang keluar. Di bawah pohon yang tak ku ketahui apa namanya ini, aku memperhatikan diam-diam. Hampir 3 jam aku menunggu, pukul 5 sore lewat 47 menit, baru kulihat gadismanisku itu.Tampangnya lusuh, ia mencepol sembarangan rambutnya. Sesekali ia mengusap mata yang tampaknya berair.
Tanpa disuruh, kakiku melangkah cepat mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Ia sepertinya berjalan menuju parkiran motor.
“Brengsek!” Umpatnya seraya melemparkan sesuatu. Benda kecil yang tak kutahu apa itu.
“Dasar bajingan!!!” Teriaknya sambil menghentakkan satu kaki.
“Benci sebenci-bencinya! Kamu itu laki-laki yang nggak bisa tanggung jawab!” Sekarang giliran layar ponsel yang diteriakinya.
Dari teriakan-teriakannya itu, bisa kuambil kesimpulan. Novi habis putus cinta dari kekasihnya.
Tingkah lakunyaitu pasti akan mengundang tatapan aneh orang-orang. Untungnya di kawasan kantornya kini sepi sekali. Kurasa hanya ada aku dan dia. Pos satpam yang seharusnya berisi satpam saja, kosong melompong.
Tetap menjaga jarak agar tak ketahuan darinya, aku hanya dapat berharap agar Novi tak larut dalam kesedihan. Pria nggak cuma satu, masih ada aku disini yang masih diam-diam menyukainya.
Beberapa saat Novi menghidupkan mesin motornya, dan meninggalkan kawasan kantor. Membunuh rasa penasaran apa yang terjadi pada Novi, cepat-cepat aku memunguti apa yang Novi lempar tadi.
Mataku terbelalak kaget. Astaghfirullah, benda ini kan testpack kehamilan. Garisnya itu, garisnya sama betul ketika kakakku kegirangan menunjukkan tesytpack-nya bahwa ia hamil.
***
Cinta memang buta itu benar, setelah aku tahu semua tentang rahasia hidup Novi, tak sedikitpun rasa sayang ini berkurang, yang ada aku ingin terus melindunginya. Hari ini aku akan memberanikan diri untuk melamarnya. Bahkan dengan nekatnya aku bolos kantor, lalu pergi menanyakan alamatnya ke bagian administrasi kampus kami dulu.
Tubuh sudah wangi, baju sudah rapi, cincin pun sudah kubeli, tinggal setitik harap kuselipkan dalam doa kepada sang ilahi. Semoga niat baikku di ridhoi olehnya. Jika memang Novi yang terbaik untukku, maka mudahkanlah urusanku hari ini
Tak sampai 15 menit dari rumahku, aku sudah menemukan alamat rumah Novi. Dan tepat dihalaman rumahnya, setelah aku memarkirkan kendaraan, kakiku mendadak lemas, senyumku perlahan memudar. Hatiku seperti dicincang habis-habisan sampai tak berbentuk lagi. Satu hal yang kutahu kini, harapanku untuk memilikinya musnah.
Tapi... Ada sedikit kebahagiaan dihati, ketika aku melihat gadis manisku tersenyum lepas didepan pria yang berlutut dihadapannya.

2 Responses to "#JCDD2 Mencintaimu Tanpa Syarat - Asriani"

  1. " Pria mana yang tak akan luluh jika dibanjiri sejuta perhatian tulus dari gadis manis dan baik hati sepertinya. "
    sedang menguji kebenaran kalimat ini :')
    Bagus , cerita nya menarik.., jalan ceritanya ga ketebak bakalan sad atau happy, tapi ternyataa.. hhe, salam kenal ya :) dan kalau berminat silahkan berkunjung balik di http://mutiasyahrezaa.blogspot.com/ .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe...
      Iya, salam kenal juga ya. Makasih juga sudah tertarik dengan ceritaku :)

      Hapus