Cinta ini memang sengaja tak kuungkap
hingga waktu yang tepat itu datang. Namun jika memang tak ada kesempatan
mengungkapkan apa yang kurasa padamu, cinta ini akan terus kusimpan dalam hati.
Karena aku mencintaimu tanpa syarat untuk harus memilikimu.
Aku
rindu masa-masa yang lalu, saat dimana gadis manis berambut hitam itu masih terus
mengejarku. Mengirimiku pesan singkat setiap hari, dan juga suara lembutnya bak
penyemangat dari ujung telepon kala aku sedang menjalani ujian ataupun kuis di
kampus. Dari semua wanita yang berusaha mendekatiku, hanya ia yang paling
tangguh. Ia mengejarku tanpa henti. Ketulusannya membuatku sedikit demi sedikit
luluh.
Aku
ingat, pertama kali ia memberanikan diri komunikasi padaku diluar waktu kampus,
ia mengucapkan selamat atas kelulusanku menjadi seorang sarjana hukum melalui
pesan singkat pada malam hari setelah aku ujian kompre.Ia juga memberikan
namanya diakhir pesan, agar aku tahu kalau itu dia. Aku si tipe cowok yang
paling malas untuk meladeni orang yang tak kukenal dekat pun jelas kujawab pesan
singkatnya itu secarasingkat padat dan jelas, dengan kata “terima kasih”.
Entah
darimana keberanian itu muncul lagi, ia menanyai kabarku dan sedang apa pada
waktu itu? Aku tersenyum membaca pesan itu sambil membayangkan wajah manisnya,
dan akhirnya kubalas juga, tapi lagi-lagi kujawab dengan singkat. Dan lagi-lagi
ia mempunyai seribu pertanyaan dan topik pembicaraan agar tetap terus
berkomunikasi padaku melalui pesan singkat. Sampai ia mengetahui aku
melanjutkan kuliah S2 di kota Yogyakarta.
Kupikir
ia tak akan bosan bersikap seperti penuh perhatian padaku, tapi nyatanya aku
salah. Terakhir kali kudengar, katanya ia lelah. Ya, ia lelah dengan sikapku
yang dingin seperti es dikutub utara. Ia juga menegaskan, tak akan ada yang
betah dengan sikapku jika aku terus seperti ini.
Awalnya
aku marah dikatai seperti itu, aku kecewa padanya yang tak bisa bertahan dengan
sikapku. Setelah kupikir, memang benar katanya, siapa juga yang akan tahan jika
berada di kutub utara? Ucapannya itu menjelaskan, bahwa wanita mana yang akan
bertahan dengan status hubungan tak jelas.
Aku
kembali mengingat percakapan melalui telepon tempo hari. Percakapan terakhir
kami.
“Hubungan
kita ini apa sih, Bang?!” Tanya gadis manis itudari ujung telepon berulang kali
yang kujawab dengan diam sampai ialelah untuk bertanya lagi.
Demi
Tuhan, dalam hati aku benar-benar menyukainya,
aku menyayanginya, dan aku menginginkannya. Tapi rasa ini belum saatnya untuk
aku ungkapkan. Belum, karena aku menginginkan ta’aruf, bukan pacaran seperti
yang dilakukan pasangan-pasangan pada umumnya. Bagiku dengan cara seperti itu
aku menjaganya.
“Emm,
kita teman baik, Dek.”
“Teman?
Oh, aku paham, ini semua hanya bertepuk sebelah tangan. Salah jika aku menilai
kamu juga suka denganku, Bang!!!” Asumsinya penuh amarah.
Padahal,
ia benar jika ia menebak aku suka padanya. Pria mana yang tak akan luluh jika
dibanjiri sejuta perhatian tulus dari gadis manis dan baik hati sepertinya.
“Bukan
begitu maksudku, Dek.”
“Lalu
apa kita ini? Jika kamu suka padaku seharusnya kamu bilang. Sudahlah, aku
kayaknya nggak akan menghubungi kamu lagi, aku capek dengan hubungan nggak
jelas gini! Sukses untuk kuliahmu disana, dan semoga kamu dapat pekerjaan
disana juga, Bang. Jadi, aku tak ada kesempatan untuk ketemu kamu lagi!”
Tut...
Tut... Tut... Telepon terputus secara sengaja olehnya.
Ingin
rasanya aku merutuk diriku sendiri karena tak mampu berkata apa-apa. Seperti
apa yang ia bilang, sejak saat itu ia tak ada menghubungiku lagi. Dan aku, tetap
menjadi si pengecut yang tak ada keberanian untuk menjelaskan bagaimana
perasaanku yang sebenarnya. Aku tetap pada prinsipku yang akan mengungkapkan semuanya
setelah aku merasa cukup pantas untuk menikahinya.
***
Setahun
berlalu, aku kembali ke kota kelahiranku, Pontianak.Aku kembali lebih awal dari
prediksi yang direncanakan. Kuliah di sana terpaksa belum diselesaikan. Sebab,
aku diterima di salah satu BUMN kota Pontianak, saat aku melamar di kota Yogyakarta.
Ketika
bandara aku sudah dijemput orang-orang yang kurindukan. Mereka adalah keluargaku,
ada ayah, ibu, kakak dan adik bungsuku. Ada yang kurang sebenarnya, gadis manis
itu, ia juga termasuk salah satu orang yang kurindukan. Ah, tapi mana ia tahu
aku pulang ke Pontianak secepat ini. Gadis manis itu, ia yang mungkin sekarang
telah membenciku. Andai ia dapat bertahan dengan sikapku yang ia bilang dingin
itu, mungkin beberapa minggu lagi aku akan melamarnya. Huh, andai saja.
Hampir
3 bulan aku bekerja, tapi aku masih saja belum bertemu dengan gadis manisku dan
aku hanya memikirkannya. Kata temanku, di kantor aku sering melamun.Sama
seperti di rumah makan khas melayu ini, lagi-lagi aku mengenangnya. Ia pernah
bilang, jika sedang susah, ingat saja senyumannya dan ia pasti akan ikut
tersenyum. Senyum gadis manis itu seolah penyemangat yang sering muncul ketika
aku sedang susah.
“Woi jangan ngelamon sambil senyum! Nanti orang-orang pade nyangke kau orang gile.”
Tepukan dipundak membuatku tersadar dari lamunan, lebih tepatnya membuatku
terkejut. Orang yang menepuk secara kasar itu teman sekantorku, Rangga namanya.
Bukannya marah karena kesakitan, aku malah cengar cengir mengelus pundakku.
“Kau
maok pesan ape, Ki?” Tanya Rangga tak sabaran.
“Same kayak kau jak lah. Kau pesankanpunya
aku juga ye? Aku”
“Halah,
dasar pemalas,” keluh Rangga sambil mencibirkan bibir tipisnya.
Pria
dengan perawakan cowok kutu buku itu berjalan meninggalkan tempat duduk ke
kasir. Rumah makan yang satu ini agak beda, pembayaran dan pemesanan dilakukan
bersamaan. Tak ada pelayan yang mengantarkan makanan, pembeli juga yang berdiri
menunggu hingga makanannya siap
disajikan.
Beruntung
mempunyai teman sekantor seperti Rangga ini. Ia satu-satunya teman yang betah
dekat denganku.Sama seperti gadis manisku, orang-orang dikantor juga bilang,
kalau aku ini orangnya dingin.Sebenarnya hampir semua orang yang mengenalku
juga bilang begitu. Aku yang irit ngomong dan selalu jawab pembicaraan seadanya
membuat orang-orang malas berbicara banyak padaku lagi. Aku heran kenapa Rangga
mau bergaul denganku, apa karena hanya aku satu-satunya pegawai baru dikantor
yang bisa dijadikannya teman? Entahlah. Mau apapun alasannya, yang penting,
setiap makan siang, aku tak perlu sendirian.
Aku
membicarakannya dalam hati, tanpa sadar ia sudah membawa dua piring nasi dengan
lauk yang kutebak lezat hanya dari aromanya, pacri nanas dan ikan asam pedas.
Seperti
kuli yang sudah tak makan 3 hari, aku menyantap lahap makanan itu. Beda
denganku, Rangga sibuk dengan ponselnya, wajahnya terlihat kusut.
“Kau
tahu, calon istriku ini orangnya plin plan. Katanya saja mau melangsungkan
pesta pernikahan dirumahnya, dengan alasan akan terasa suasana pernikahan,
karena banyak keluarga yang datang menginap. Tapi, sekarang menjelang 1 bulan
pernikahan kami, ia mendadak ingin melangsungkan pesta pernikahan di gedung,
dengan alasan banyaknya orang yang akan diundang.”
Mulutku
penuh nasi mengulum senyum. Aku meneguk air putih sebelum memberi tanggapan. “Turuti
saja mau calon istri kau.”Jawabku singkat.
“Masalahnya,
gedung-gedung di Pontianak sudah full
booking semua, Ki. Istriku suruh cari sampai dapat pula. Mana mungkin ada.
Egois sekali dia. Buat aku pusing tujuh keliling. Dia tadi sms, nggak akan mau
komunikasi sama aku kalau aku belum menemukan Dia nggak percaya kalau aku ini
udah kesana kemari.”
Aku
mendeliknya sebentar, tanpa membuka mulutku. Ya aku hanya bisa diam memberikan
pendapat tentang keluhan Rangga.
“Kasih
pendapat dong, Ki. Aku mesti gimana? Kalau kau tetap diam, sama jak aku ngomong
sama patung.”
“Pujuk
jak secara halus, terus kasih dia pengertian. Kalau perlu kau foto buku
reservasi di setiap gedung dan hotel untuk bulan depan, biar dia lebih
percaya.” Jawabku seadanya. Aku tak tahu harus memberikan pendapat panjang
lebar. Lebih tepatnya aku tak mau ikut campur lebih banyak. Masalah yang ia
alami seharusnya ia selesaikan sendiri dengan calon istrinya itu.
“Nah!
Jenius kau!” Rangga tampak puas mendengar jawabanku. Aku jadi heran sendiri.
Padahal aku hanya asal menjawab.“Ngomong-ngomong kau sudah ada calon istri,
Ki?” Lanjutnya.
Ah,
pertanyaan macam apa itu. Aku menggeleng lemas, lagi-lagi teringat dengan gadis
manisku.Bagiku ia calon istriku, itupun kalau ia masih tertarik dan mau bertemu
denganku.
“Tuh
banyak cewek-cewek di meja pojok itu, deketin aja salah satunya kali aja ada
yang kecantol sama kau.” Kepalanya menoleh ke gerombolan wanita usia 20-an
tahun. Otomatis aku juga ikut menoleh. Dapat kutebak, dari pakaian mereka itu, mereka
juga pegawai kantor yang lagi makan siang.
Diantara
wanita berbedak tebal itu, aku dapat melihat seseorang yang kukenal. “Novi?” Tanyaku dalam hati. Ya, hanya dalam hati.
Hatiku
senang. Bibir merekah senyum. Aku menemukannya disini. Tapi ada yang beda
dengannya. Ia bukan lagi gadis manis dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang,
rambut panjang dikuncir kuda, tas ransel yang melekat dipundaknya, dan skinny jeans yang membuat kaki
jenjangnya itu terbungkus cantik.Sekarang ia berpakaian seperti wanita karir
pada umumnya. Dan hei, ia mengenakan rok span yang menampakkan betis mulusnya
itu. Aku yakin, sangat yakin, pria yang ada disini dapat mengakui jika gadis
manisku ini termasuk dalam kategori wanita cantik.
“Tuh
kan, kau langsung naksir dari salah satu diantara mereka, bukan?” Seru Rangga kegirangan,
diiringi tawa diakhir kalimat, ia menepuk pundakku berulang kali.
***
Pertemuan
dengan gadis manisku secara tak sengaja kemarin itu, kurasa bukanlah hal
kebetulan semata. Aku percaya ada campur tangan Tuhan dalam cerita kami. Ya,
itu pasti. Jika Tuhan sudah meridhoi, pasti ada jalannya untuk bertemu. Padahal
aku sudah ancang-ancang mencari tahu bagaimana kabarnya sekarang melalui
jejaring sosial. Eits, walaupun sudah bertemu dan tahu ia baik-baik saja, aku
malah tambah penasaran dengannya. Dari pulang kerja sampai malam begini, aku
yang masih memakai pakaian kantor. Keasyikan setelah menemukan akun Novi. Novi
itu memang aktif di media sosial, baik facebook ataupun twitter.Hampir setiap
hari ia posting status. Foto-fotonya dengan berbagai macam gaya pun juga
membuatku gemas.
Dulu
saja, ia sering menanyakan, kenapa aku tak pernah membuat jejaring sosial.Dan
membujukku untuk membuat jejaring sosial,
“Kenapa
kamu nggak turun kebawah? Makan malam dulu.” Tegur suara wanita dari depan
pintu. Tanpa memalingkan wajah dari depan layar komputer, aku sudah tahu siapa
wanita itu. Ia mamaku.
“Sudah
kenyang, Ma. Aku dikamar jak. Masih
ada kerjaan juga.” Kilahku.
Mama
tak beranjak keluar kamar, ia malah berjalan mendekatiku. Takut ketahuan
berbohong.Cepat-cepat kututup akun facebook dan twitter sebelum mama duduk
disebelahku.
“Nak,
besok kita kerumahnya teman Mama ya?” Tanya mama.
“Temani
arisan?”
“Iya,
sekalian Mama mau jodohin kamu dengan anak teman mama. Anaknya cantik, pintar
dan baik pula. Latar belakang keluarganya sudah pasti dari keluarga baik-baik.
Pokoknya kamu pasti suka.
“Aduh,
ini sudah berapa kali mama coba untuk jodohin aku.”
“Habisnya
kau itu, kalau nggak dicariin, mana mau cari sendiri.”
Aku
menghela nafas panjang. Biasanya aku kabur keluar kamar dan besoknya pura-pura
ada kesibukan diluar biar nggak bertemu dengan calon kandidat cewek yang akan
dijodohkan denganku. Kali ini beda. Aku sudah menemukan calonku. Tinggal
mengungkapkan apa yang kurasa, lalu berharap ia masih memiliki rasa denganku.
Dan, mama tak perlu sibuk-sibuk memikirkan bagaimana aku nanti jika jadi
perjaka tua.
“Aku
bisa cari sendiri, dan aku sudah ada calonnya.” Kataku penuh percaya diri.
Dalam hati heran juga, kenapa aku bisa yakin, belum tentu Novi masih
menyukaiku. Apa ini firasat kalau Novi
juga masih menyukaiku? Entahlah.
“Akhirnya!”
Seru mama tersenyum senang. “Kau ndak bohong? Sudah berapa lama kalian pacaran?
Kenal darimana? Siapa namanya? Kerja dimana dia? Orang tuanya kerja apa juga?”Masih
dengan senyuman yang tergurat dibibir tipisnya, mama penuh antusias menanyakan
pertanyaan itu.
Kepalaku
yang tak gatal kugaruk secara brutal. Menjawab pertanyaan mama sesusah menjawab
soal logaritma. Secara aku bukan tipe orang pencerita yang dengan mudah
menceritakanhubungan yang menyangkut perasaan cinta ini dengan luwes.
“Nanti
ya ma, nanti aku akan bawa dia kerumah, baru deh mama tanya panjang lebar sama
orangnya secara langsung.”
“Tapi
kapan kau mau bawa dia kerumah kita?”
Kapan?
Bertemu dengan Novi kemarin sajakarena kebetulan. Bingung sendiri sekarang aku
mau jawab apa.
“Pokoknya
nanti pasti aku bawa dia, tunggu waktu yang tepat.”
Ya,
waktu yang tepat itu entah kapan, kuharap dapat secepatnya.
“Iyelah,
jangan sampai kau beri harapan palsu ke mamak jak. Kalau ternyate kau bualkan
mamak. Pokoknye kau ndak boleh nolak mamak jodohkan same anak teman mamak ye?”
Aku
hanya mengangguk lesu. Oh Tuhan, pertemukanlah aku dengan Novi lagi. Semoga
impianku dapat meminangnya segera terwujud.
***
Harapan
tanpa usaha sama saja omong kosong. Maka dari itu aku akan berusaha. Salah satu
cara untuk dapat bertemu dengan Novi lagi, ya datang ketempat makan siang
kemarin. Padahal rumah makan itu cukup jauh dari kantor. Bisa dibilang kemarin
aku dan Rangga terjebak makan disana karena rumah makan di dekat kantor ramai
pengunjung. Otomatis kami tak dapat tempat duduk.
Sebelum
Rangga menghidupkan mesin mobil, aku memintanya untuk makan di tempat kemarin
saja. Rangga tertawa kecil dan menggodaku, katanya aku datang kesana hanya
berharap dapat bertemu dengan perempuan cantik kemarin. Tebakannya benar, tapi
aku tak mau mengakui itu. Aku berkilah, kalau makanannya yang enak, dan aku
sudah sreg dengan makanan disana.
Sepanjang
jalan Rangga terus menggodaku. Mengajarkanku jurus-jurus mendekati wanita itu. Ajarannya
itu kepadaku, sudah seperti guru kepada anak TK yang masih harus diajarkan
bagaimana caranya makan tak belepotan. Aku mendengus dalam hati. Asal ia tahu,
aku sudah kenal dengan Novi sejak lama. Jika kami bertemu lagi, aku akan
menegurnya dan berharap hubungan kami dapat kembali seperti sebelumnya. Eh,
tidak, kuharap akan lebih baik dari sebelumnya. Karena aku tak ingin ia merasa
seperti di kutub utara jika berada didekatku.
Terlalu
banyak memikirkan Novi dalam khayalan, tanpa sadar mobil sudah terparkir
didepan rumah makan.Aku turun dari mobil dengan tampang celingukan mencari
seseorang, Rangga berkutat dengan ponselnya. Rangga berhenti menggodaku sejak
ia sibuk dengan ponselnya itu.Raut wajahnya beda dengan kemarin, sering ia
menyelipkan senyum sembari menarikan jempolnya di keypad ponsel. Mungkin saja
masalah tentang gedung pernikahan itu sudah beres.Tak apa lah Rangga begitu,
setidaknya untuk beberapa saatia tak menggodaku lagi. Bisa malu aku dibuatnya.
Bukannya apa, suara Rangga itu nyaring. Apalagi ketawanya. Huh, mana mau aku
jadi pusat perhatian karena di goda masalah wanita.
Efek
dari kesibukannya dengan ponsel, giliran Rangga memintaku memesan makanan. Ia meminta
menunya sama lagi dengan kemarin. Aku mengiyakannya dan segera bergegas menuju
antrian yang sepertinya lebih ramai dari kemarin.
Baru
beberapa langkah aku berjalan dari mejaku. Mataku berbinar. Usahaku kemari tak
sia-sia. Benar ada Novi lagi disini. Di meja yang sama, bersama teman-temannya.
Bukannya
berjalan bujur terus memesan makanan, kakiku melangkah pasti belok kearah kiri
menuju ke meja dimana Novi duduk. Berhenti tepat dimejanya. Aku
memperhatikannya dari atas kebawah sambil tersenyum senang.Sudah kubilang, ini
semua direncanakan Tuhan. Ada campur tangan Tuhan disini. Tuhan memang berpihak
padaku.Thanks God.
“Bang,
kalau liat kawan saye, ndak usah sampe segitunye juga kali!”
Kepalaku
seperti dilempar batu karena omongan wanita tadi. Mau kabur pun entah kenapa
kaki sulit melangkah. Aku tahu, wanita-wanita dimeja ini sedang memandangiku.Pastinya
dengan tatapan penuh tanda tanya. Akupun grogi kalau begini. Aku harus bilang
apa. Mustahil aku bilang aku takjub karena menemukan seseorang yang aku
rindukan, walaupun itu benar adanya. Aku hanya menahan malu dengan tersenyum
selebar mungkin dan mengusap wajahku yang mengucurkan keringat dingin.
“Nih,
tisu!” Ujar suara wanita yang kukenal. Namun dengan nada dingin.Dan tatapan
matanya sinis sekali. Ia menjulurkan kotak tisu tepat didepan wajahku. Hampir
mengenai wajahku. Dengan cepat aku mengambil sehelai tisu dan mengusapkannya
secara asal. Setelah itu, ia menaruh kotak tisu secara kasar. Eh bukan menaruh,
tapi menghempaskan. Gayanya ini seperti manusia yang tak pernah diajarkan sopan
santun.
“Kamu,
Novi kan?” Tanyaku meyakinkan.
“Ya!
Ada perlu apa?!”
Nyaliku
menciut. Dibentak seseorang yang disayang, lebih mengerikan daripada harus
berdiri ditempat ketinggian.
“Apa
kabar, Novi?” Tanyaku terbata-bata. Aku yakin, teman-teman Novi pasti menahan
tawa, karena tingkahku sudah seperti alien yang baru belajar bahasa manusia
bumi.
“Baik.”
Jawabnya singkat. Sekarang malah nyaris tanpa ekspresi. Datar sekali.
“Soal
yang tempo hari itu... Aku...”
“Udah,
jangan dibahas lagi!” Potongnya ketus.
Nyaliku
menciut lagi, mungkin lebih kecil dari upil. Reaksinya diluar dugaanku.
“Maafkan
aku, pasti kamu masih marah, kan? Aku punya alasan sendiri untuk bersikap
seperti tempo hari, kamu harus tahu yang sebenarnya, Nov.”
“Maaf
apaan sih? Aku sudah tahu semuanya. Udahlah, pergi sana! Jangan ganggu aku lagi
makan!”
Aku
menggelengkan kepala keheranan sembari melangkah pelan meninggalkan mejanya. Gadis
manis yang kukenal seperti monster mengerikan sekarang. Anehnya, sikapnya ini
tak membuat sayangku berkurang. Aku menyalahkan diriku sendiri, karena telah
menyia-nyiakannya dahulu.
Baru
beberapa langkah dari mejanya, samar-samar kudengar, salah satu teman Novi berbisik,
apa Novi benar mengenalku? Dan samar-samar juga Novi bilang kalau aku hanya
orang aneh. Mendengar percakapan itu, aku tersenyum kecut.
Dalam
hati aku meringis, jadi begini toh rasanya cinta bertepuk sebelah tangan. Namun
peristiwa hari ini tak akan membuatku patah semangat untuk mengejar Novi. Aku
akan membuatnya luluh dan menyukaiku lagi. Tiap hari aku akan makan dirumah
makan ini. Tujuanku begini hanya satu, aku ingin hubunganku membaik dengan
Novi, lalu aku ingin mengungkapkan perasaanku. Soal ia mau atau tidak, aku tak
akan memaksa. Yang terpenting aku sudah usaha.
***
Hampir
sebulan sudah, tak ada perkembangan apapun dari hubunganku dengan Novi. Ia
terus bersikap dingin padaku. Dan yang membuatku gemang, sejak seminggu yang
lalu, Novi tak pernah datang kerumah makan ini lagi. Kabar tentangnya di media
sosial pun tak pernah update lagi. Aku cemas. Aku takut terjadi hal yang tak
menyenangkan terjadi pada Novi. Atau, ia hanya menghindariku saja?
Daripada
memikirkan yang belum jelas kebenarannya, tindakan aneh pun kulakukan. Kali ini
aku diam-diam akan menunggu Novi keluar dari kantor. Soal dimana aku mengetahui
dimana kantornya itu, ya dari jejaring sosialnya. Khusus kali ini juga, aku
ijin pulang awal dari kantor dengan alasan sakit, hanya untuk Novi, gadis
manisku.
Mataku
awas memandangi setiap orang yang keluar. Di bawah pohon yang tak ku ketahui
apa namanya ini, aku memperhatikan diam-diam. Hampir 3 jam
aku menunggu, pukul 5 sore lewat 47 menit, baru kulihat gadismanisku itu.Tampangnya
lusuh, ia mencepol sembarangan rambutnya. Sesekali ia mengusap mata yang
tampaknya berair.
Tanpa
disuruh, kakiku melangkah cepat mengikutinya secara sembunyi-sembunyi.Ia sepertinya
berjalan menuju parkiran motor.
“Brengsek!”
Umpatnya seraya melemparkan sesuatu. Benda kecil yang tak kutahu apa itu.
“Dasar
bajingan!!!” Teriaknya sambil menghentakkan satu kaki.
“Benci
sebenci-bencinya! Kamu itu laki-laki yang nggak bisa tanggung jawab!” Sekarang
giliran layar ponsel yang diteriakinya.
Dari
teriakan-teriakannya itu, bisa kuambil kesimpulan. Novi habis putus cinta dari
kekasihnya.
Tingkah
lakunyaitu pasti akan mengundang tatapan aneh orang-orang. Untungnya di kawasan
kantornya kini sepi sekali. Kurasa hanya ada aku dan dia. Pos satpam yang
seharusnya berisi satpam saja, kosong melompong.
Tetap
menjaga jarak agar tak ketahuan darinya, aku hanya dapat berharap agar Novi tak
larut dalam kesedihan. Pria nggak cuma satu, masih ada aku disini yang masih
diam-diam menyukainya.
Beberapa
saat Novi menghidupkan mesin motornya, dan meninggalkan kawasan kantor. Membunuh
rasa penasaran apa yang terjadi pada Novi, cepat-cepat aku memunguti apa yang
Novi lempar tadi.
Mataku
terbelalak kaget. Astaghfirullah, benda ini kan testpack kehamilan. Garisnya
itu, garisnya sama betul ketika kakakku kegirangan menunjukkan tesytpack-nya bahwa
ia hamil.
***
Cinta
memang buta itu benar, setelah aku tahu semua tentang rahasia hidup Novi, tak
sedikitpun rasa sayang ini berkurang, yang ada aku ingin terus melindunginya.
Hari ini aku akan memberanikan diri untuk melamarnya. Bahkan dengan nekatnya
aku bolos kantor, lalu pergi menanyakan alamatnya ke bagian administrasi kampus
kami dulu.
Tubuh
sudah wangi, baju sudah rapi, cincin pun sudah kubeli, tinggal setitik harap
kuselipkan dalam doa kepada sang ilahi. Semoga niat baikku di ridhoi olehnya.
Jika memang Novi yang terbaik untukku, maka mudahkanlah urusanku hari ini
Tak
sampai 15 menit dari rumahku, aku sudah menemukan alamat rumah Novi. Dan tepat dihalaman
rumahnya, setelah aku memarkirkan kendaraan, kakiku mendadak lemas, senyumku
perlahan memudar. Hatiku seperti dicincang habis-habisan sampai tak berbentuk
lagi. Satu hal yang kutahu kini, harapanku untuk memilikinya musnah.
Tapi...
Ada sedikit kebahagiaan dihati, ketika aku melihat gadis manisku tersenyum lepas
didepan pria yang berlutut dihadapannya.
" Pria mana yang tak akan luluh jika dibanjiri sejuta perhatian tulus dari gadis manis dan baik hati sepertinya. "
BalasHapussedang menguji kebenaran kalimat ini :')
Bagus , cerita nya menarik.., jalan ceritanya ga ketebak bakalan sad atau happy, tapi ternyataa.. hhe, salam kenal ya :) dan kalau berminat silahkan berkunjung balik di http://mutiasyahrezaa.blogspot.com/ .
Hehehehe...
HapusIya, salam kenal juga ya. Makasih juga sudah tertarik dengan ceritaku :)