Setelah
baca buku “Tulang Rusuk Susu”, tentang tulang rusuk yang melekat erat namun
sementara, mengingatkan saya dengan satu cowok pemilik senyuman manis yang di
dagunya bertengger dua tahi lalat. Dia pendiam dan susah untuk di dekati. Namanya
Arif. Hati Arif akhirnya luluh dengan kegigihan cewek berambut bob yang selalu
datang ke lapangan bola depan rumahnya, hanya untuk melihat dia. Cewek itu
saya. Dan saya adalah tulang rusuk susu Arif. :)
***
Kejadiannya
sekitar 12 tahun yang lalu... Jreng... Jreng...
Kalau
Indra Widjaya ngalamin cinta pertamanya saat SD kelas satu, saya baru merasakan
yang namanya cinta itu saat SMP kelas 1. Telat yaa? Abisnya saat SD saya tomboy
rada tomboy sih. Jadinya semua cowok bawaannya sama aja. Belum ada yang membuat
jantung saya berdebar nggak karuan gitu.
Tapi
sekalinya sudah jatuh cinta, si cowok mampu meluluh lantakkan hati saya, seorang anak
kecil polos bermetafosa menjadi remaja sok keren yang harus tampil kece di
depannya.
Bagaimana
tidak, Mama dan Ayah jadi heran kenapa saya pakai minyak wangi super wangi ke
sekolah, pakai bedak padat dan juga lipgloss. Terus saya yang biasanya minta di
jemput pulang malah ingin pulang sendiri naik oplet. Karena apa coba saya
begitu? Ya karena si cinta pertama.
Orang
tua saya saat itu mungkin tahu saya sedang berada di fase jatuh cinta sama
cowok, tapi mereka diam-diam aja tuh. Cuma ekspresi wajahnya aja yang sedikit
mengernyit jika minyak wangi yang saya semprotkan kebanyakan. Atau Mama langsung
mengambil lap basah mengelap wajah saya dan bibir jika bedak dan lipgloss
ketebalan.
Orang
tua saya nggak akan marah besar ataupun tanya macam-macam selama saya nggak
bertindak diluar kewajaran, tapi tidak untuk teman-temanku di sekolah yang suka
ingin tahu. Membuat saya malu jika ditanya apalagi diejek seperti ini, “tumben
wangi, sudah mulai jatuh cinta ya? Cinta monyet dong?” atau begini, “mau
kondangan atau sekolah? Lagi narik perhatian cowok mana nih?”
Saya
hanya senyum-senyum sendiri tanpa menggubris omongan mereka. Itu cara terbaik
daripada diladenin. Eits, dalam hati saya komplain lho. “Halah, kayak mereka
nggak pernah ngerasain jatuh cinta aja. Sama juga tuh jenis cintanya, cinta
monyet.”
Memang
ketahuan saya lagi jatuh cinta, tapi belum ada yang tahu kalau cowok yang saya
suka alias cinta pertama saya ini namanya Arif, Abang kelas 8B. Dia bukan cowok
paling ganteng di sekolah, bukan cowok populer, bukan ketua osis juga. Lantas, kenapa
saya bisa jatuh cinta padanya, apa hayo tebak???
Hmm...
Jawabannya nggak tahu, eh lebih tepatnya nggak ada jawaban dari pertanyaan itu.
Saya tak memiliki alasan, perasaan cinta itu datang dengan sendirinya tanpa diduga dan direncanakan. Seolah ada pesona
tersendiri dari Arif di banding cowok-cowok lain. Padahal, pada awal masa puber
dan mengenal cinta dari majalah atau sinetron televisi, saya menetapkan standart
cowok yang harus saya cintai dengan
menuliskan di diary, bahwa cowok ideal saya itu harus mirip dengan Vic Zhou.
Dan sekalinya jatuh cinta, Arif itu nggak ada mirip-miripnya dengan Vic Zhou
lho, beneran deh.
Ketika
saya ngumpul di kantin sekolah sama teman-teman, mereka membicarakan tentang
cowok, terus kebetulan Arif ada di kantin yang sama, salah satu teman saya ada
yang berkomentar, dia bilang kalau Arif
itu tipe cowok cupu. Saya yang lagi makan indomie rebus langsung tersedak dan
mengumpat dalam hati. What? Cowok yang
membuatku terpesona ini mereka bilang cupu? Hah, ingin protes mengeluarkan
suara tapi saya takut ketahuan kalau saya suka dia, lebih baik di pendam aja
lah dalam hati.
Padahal
menurut saya Arif nggak cupu kok. Kalau saya paparkan dari segi fisik, dia itu
punya pemanis yang saya sebut chocochips
alias tahi lalat 2 biji yang bertengger di dagunya. Bibirnya tipis, dia memakai
kacamata yang membuatnya seperti cowok jenius. Dia nggak kurus, nggak juga
gendut. Terus, rambutnya ikal-ikal gemesin gitu. Hah! Sempurnalah dia dimata
saya, gadis manis nan polos berambut bob dengan poni lurus menutupi alis.
Asal
muasal saya mengenal Arif, yaitu di sekolah, hari itu kelas saya dan kelasnya
kebagian jadwal olahraga bersama. Sembari menunggu murid lain untuk senam
poco-poco, saya duduk di selasar kelas, di situlah Arif dan teman-temannya berjalan
melewati saya. Dan seperti yang saya bilang tadi, dia punya pesona tersendiri. Sejak
saat itu saya sering curi-curi pandang padanya. Setelah saya lihat-lihat, yang
membuat Arif istimewa yaitu dia mempunyai dua chocochips di dagu, membuat saya gemas untuk memakannya. Nyam...
Nyam... Nyam... Jarang-jarang lho ada cowok yang punya chocochips unyu di dagu. Sejauh ini hanya Arif seorang. Buseeet dah.
Ngomong-ngomong,
jatuh cinta sama Arif itu asyik-asyik perih. Asyik saat bisa melihat dia hampir
setiap hari. Perih karena hanya bisa melihat dia dari jauh dan nggak punya
keberanian untuk menebar senyum apalagi ngajakin kenalan. Nyali saya hanya
sebesar kotoran semut. Bisa kebayang kan kecilnya kotoran semut kayak apa? Huh,
Arif dan selalu tentang Arif yang ada di otak ini, untunglah biar nggak
kepenuhan tentangnya, saya tuangkan perasaan ini dengan menulis di diary yang
sekarang sudah lenyap kemakan rayap. Buku tulis dan buku LKS kadang saya coret-coret
dengan menggambar wajah Arif yang khas itu, wajah manis bertabur chocochips.
***
Saat
masih duduk di bangku SMP, saya belum dibolehin bawa kendaran sendiri,
kendaraan disini maksudku sepeda ya, bukan motor, apalagi mobil, belum cukup
umur dong kakak. Jadi, saya lebih sering di antar jemput Ayah. Namun ada
kalanya Ayah punya alasan mendadak bahwa beliau nggak bisa jemput.
Namun, hari dimana saya kesal karena Ayah tak
bisa jemput dan mengharuskanku naik oplet sepulang sekolah, mendadak jadi hari
paling menyenangkan karena di dalam oplet ada my chocochips love, Arif. Beruntungnya lagi, tersedia tempat kosong
di bangku sebelah Arif, jadilah saya duduk di sampingnya. Bayangkan, saya bisa
lihat dia dari jarak satu jengkal tangan saja. Oh tuhan, saat itu saya berharap
sang supir pelan-pelan dalam mengendarai oplet, agar saya bisa-lama-lama duduk
di sebelah Arif.
Keberuntungan
selanjutnya muncul ketika saya dan Arif serempak mengetuk langit-langit oplet
untuk memberi tanda kami mau turun. Ingin rasanya jingkrak-jingkrak kesenangan,
tertawa riang sambil turun dari oplet.
Namun saya masih bisa menahan semua itu dengan mengigit bibir bawah kuat-kuat
dan sekiranya rasa senang itu sudah mereda, saya tersenyum manis. Menunduk malu
saya menyimpan senyuman itu, seolah tak membiarkan satu orangpun tahu, terlebih
Arif yang berdiri di tepi jalan raya ini, bersama saya. Nggak kayak cowok
pecicilan yang suka tebar pesona dan ngajakin kenalan cewek asing, dia ini
orangnya cool. Eh, cool atau nggak
tertarik sama saya ya? Entahlah.
Kelamaan
menunduk dan tersenyum, saya tersadar Arif sudah menyebrang duluan. Begitu
jalanan agak lengang, saya ikut menyebrang juga. Dan dia sudah berjalan jauh di
sana. Saya berlari-lari kecil mengejar Arif, terkejar juga kok. Namun saya
memberi jarak di belakangnya. Sebab saya punya rencana, yaitu mau
membuntutinya.
Rasa
penasaran muncul, saya ingin tahu dimana dia tinggal. Simsalabim, cinta merubah
saya mendadak jadi stalker kacangan.
Syukur alhamdulilah Arif nggak ada menunjukkan wajah curiga sama sekali, dia
nyantai aja tuh berjalan di depan. Walau ada sekali dia menoleh kebelakang
dengan ekspresi datar, dan itu tiba-tiba tanpa saya sangka. Berjalan perlahan
tapi pasti, saya melewati blok yang seharusnya mewajibkan saya berbelok masuk, itu blok rumah
saya. Bukannya nggak mau pulang, tapi saya masih saja mengikuti Arif.
Tak
jauh dari blok rumah saya tadi, saya pun belok. Wohoo, ternyata oh ternyata dia
tinggal di komplek yang sama dengan saya namun beda blok. Ini nih jarang main keluar
rumah karena kerjaannya nonton televisi terus, saya jadi nggak sadar Arif satu
lingkungan dengan saya. Blok kami terpisah dengan adanya lapangan bola. Rumahnya
Arif itu tepat di depan lapangan bola.
***
Setiap
sore saya yang biasanya asyik menonton vcd meteor garden bareng tante, kini sepertinya
lebih asyik jika duduk di pinggir lapangan menonton pertandingan bola antar
blok.
Gaya
bak Miss Universe, saya melenggang cantik masuk kamar mandi. Sebab sore ini
ialah sore yang jelas beda dengan sore-sore sebelumnya. Mandi pakai sabun
dee-dee aroma jeruk, shampoo dee-dee, dan odol gigi dee-dee juga. Di kamar
mandi saya puas-puasin bersihin diri, toh bakalan ketemu Arif.
Hulala.
Saya memanut diri di depan kaca depan rumah. Memantulkan tampilan kece gadis
remaja memakai daster warna kuning motif semua personil meteor garden dan
sendal jepit swallow. Dulu menurut saya, gaya seperti ini sudah paling kece
untuk ngacir di depan cowok gebetan. Pakai daster dengan tubuh wangi di pinggir
lapangan bola itu wajib, sebab artinya saya sudah mandi sore. Yaa, mengingat
ini, saya jadi tahu kalau dulu itu saya nggak ada modis-modisnya. Hehehehe.
Sudah
pukul empat sore, saya masih mondar-mandir depan teras, masih ngumpulin
nyali mau ke lapangan bola. Berhubung nyali nggak kunjung gede, saya datang ke
lapangan itu dengan membawa teman cewek sebelah rumah, namanya Riris, dia lebih
muda dari saya setahun. Dia gampang banget dibujuk, sekejap saja, jadilah kami
duduk di pinggir lapangan bola yang ada kursi kayunya.
Hmm...
Kursi kayu itu kotor banget. Tahu akan kemungkinan yang terjadi, saya membawa
koran sebagai alas kami duduk. Oh ya, saya juga membawa buku bacaan, pura-pura
baca tapi mata sesekali mengintip Arif.
“Halah
Kak, ngapain mandangin Abang itu terus? Mau nonton orang main bola tapi malah bawa
buku! Aneh!” Riris merampas buku yang saya pegang dan dijadikannya kipas
darurat.
Saya
mengerjapkan mata keheranan. “Eh? Kok tahu?” tanya saya pelan, malu kalau
pembicaraan kami didengar orang lain.
Dia
menyeringai lalu mengulum senyum. “Soalnya mata Kakak mandangin Abang itu terus
sih.” Jawabnya sambil menunjuk Arif. Mulutnya itu ingin saya sumpal pakai rumput,
tapi ia terlanjur menanyakan pertanyaan keramat, “kakak lagi jatuh cinta ya sama
dia?” Otomatis tubuh saya membeku dalam beberapa detik.
Parah!
Apa yang dia lakuin tadi? Dia menunjuk Arif yang tanpa saya sadari sudah
berdiri dekat kami sambil mengibas-ngibaskan kerah bajunya, kepanasan mungkin.
Ah, mau dia kepanasan atau apalah itu namanya, saya berharap dia nggak
mendengar apa yang Riris bilang tadi.
Tapi
mana mungkin, jarak saya dan dia hanya beberapa langkah saja. Dan, ketika saya
perhatikan, ekor matanya sempat mendilik ke arah saya tapi ekspresinya datar.
Huh,
detik itu juga saya bangkit dari tempat duduk meninggalkan Riris. Saya terlalu
malu untuk menunjukkan rasa suka sama Arif.
Tapi,
itu bukan terakhir kalinya lho saya ke lapangan bola. BUKAN.
Sikap
saya yang terus-terusan datang kesana memancing rasa curiga teman-teman Arif,
dan karena mulut ember Riris, mereka jadi tahu saya ada hati dengan Arif.
Ujung-ujungnya, Arif tahu siapa nama saya, kami berkenalan, daaaaaan, ya gitu
deh. :)
***
Hubungan
saya dan Arif nggak bertahan lama, sebab Arif menemukan tulang rusuk susu yang
lain. Sebagai tulang rusuk yang tahu diri, saya melepaskan diri dengan
berdarah-darah air mata. Perih memang, tapi mau bagaimana lagi, Arif bukan Adam
saya. Begitu juga sebaliknya, saya bukan Hawa-nya Arif.
Sampai
saat ini, sudah berkali-kali saya si tulang rusuk ini melekat sementara dari Adam yang satu ke Adam yang lain. Tapi, belum
juga ada yang pas. Huhuhu. Sedih.... T.T
Eh,
kesedihan itu saya tepis, karena saya
percaya kok, dengan tulisan yang ada di buku Tulang Rusuk Susu, kalau “Setiap
tulang rusuk itu ada pasangannya masing-masing. Satu untuk satu.”
Hohoho.
Saya kembali optimis!!! Semoga saja, tulang rusuk ini dapat menemukan adam yang
pas, dan dapat melekat erat selama lama lama lama lama lamanya. Amiiiin. *Yang
baca, tolong di aminin juga dong* :D
aaammmiiinnnn :D
BalasHapus