Pelita Hati Rubi


“Mama harus makan permen ini ya? Kan waktu kecil, setiap Gita nangis Mama selalu ngasih permen, trus Gita nggak nangis lagi deh”
Rubi langsung menyeka air matanya,diambilnya permen lolipop yang ada di genggaman gadis remaja 15 tahun ini.  “Iya, Mama nggak nangis lagi, Nak.”
Gita tersenyum lebar menampakkan deretan gigi yang masih terawat. Gadis remaja ini tahu dan mendengar dengan jelas apa yang kedua orang tua ributkan. Tentang tunggakan hutang, biaya kontarakan rumah, bahkan tentang keberadaan dirinya yang tak disukai oleh Ayahnya sendiri. Tubuhnya saja yang kecil, jiwanya sudah sekuat karang di laut. Ia dapat melakukan seribu cara agar Ibunya tersenyum kembali. Karena ia pelita bagi Rubi, sebagai pelita ia tak boleh padam menerangi orang yang membutuhkannya.
***
Satu hal yang tak Gita tahu, ia bukan anak yang Rubi lahirkan. Walaupun begitu, Rubi merawat dan menjaga Gita layaknya anak kandung.
Saat itu Rubi dan Galih pulang bekerja, bayi mungil tergeletak di pintu depan rumah kontarakan sepasang suami istri yang baru lima bulan menikah.
Bayi yang cantik dan menggemaskan, berbalut kain batik menyelimuti tubuhnya. Ketika melihatnya saja Rubi ingin memiliki bayi ini.
Rubi dan Galih sempat melaporkan mengenai bayi ke pihak berwajib, namun tak ada yang mengaku keluarga bayi ini. Daripada harus dibawa ke panti asuhan, Rubi ingin mengisi tangis dan tawa bayi di rumah mereka.
Sekeras apapun Galih menolak, ia akhirnya luluh dengan pinta istrinya itu.
Kasih sayang Rubi terhadap Gita berbanding terbalik dengan Galih yang menganggap Gita sebagai anak pembawa sial, karena bertepatan dengan Gita datang kerumah mereka seminggu kemudian Galih di PHK dari kantornya dan sekarang ia hanya menjadi buruh bangunan.
Galih juga tak mengijinkan Gita melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMA. Tapi, yang Rubi lakukan ialah, mengumpulkan rupiah demi rupiah, merangkap bekerja sebagai tukang cuci, itu semua demi anaknya. Tanpa sepengetahuan suaminya, ia mendaftarkan Gita masuk SMA, sekaligus membelikan Gita seragam sekolah.
Kedua Ibu dan anak tak sedarah ini berjalan bergandengan tangan menuju rumah seusai belanja keperluan sekolah. Rubi heran, ada mobil mewah terparkir depan rumahnya. Tangannya bergetar ketakutan, takut kalau itu adalah penagih hutang suaminya. Gita tahu Ibunya cemas pun izin main ke rumah Rini tetangga depan rumah mereka.
***
 “Maaf Bu,ada perlu apa?” sapa Rubi kepada wanita cantik yang sedari tadi berdiri di teras rumahnya.
“Perkenalkan, saya Sinta. Anda Rubi, bukan?”
Rasa tanya bergenyalut di hati Rubi. Tak mungkin penagih hutang secantik itu.
“Langsung ke intinya saja ya. Begini, lima belas tahun yang lalu saya pernah menaruh anak saya di depan pintu rumah ini, apa dia baik-baik saja?”
Mata Rubi membulat, sadar betul bahwa wanita ini adalah Ibu kandung Gita. “Dia baik-baik saja. Lalu, anda ingin mengambil anak anda setelah 15 tahun anda campakkan?”
Sinta tersenyum sinis, membuat Rubi semakin takut.
“Bukan, jika saya bertemu dengannya mungkin saya akan membenci anak itu. Saya hanya ingin memberikan ini, sebagai rasa terima kasih saya pada Anda yang sudah membesarkannya,” katanya mengeluarkan segepok uang dari tas kulit miliknya.
“Bagaimana mungkin ada wanita tega seperti anda! Uang ini saya  tak butuh!” Lantas Rubi menyampakkan uang itu.
“Saya mempunyai alasan bersikap seperti ini. Oh ya, bagaimana kabar Galih? Apa dia baik-baik juga?”
“Anda? Bagaimana juga anda mengenal suami saya?”
“Dia Ayah kandung dari anak itu!” ujar Sinta lantang. “Sudahlah, terima uang ini. Saya harap ini pertama dan terakhir kalinya kita bertemu.” lanjutnya ketus, kemudian berlalu.
 Beribu pisau belati terasa tertancap di hati Rubi. Menoreh sebuah luka yang dalam, sangat dalam, sampai ia tak tahu dimana ujung luka itu. Kenyataannya, selama ini ia membesarkan anak suaminya dari wanita lain.
Sekejap setelah Sinta pergi, tubuh kurus Rubi melemas jatuh tak sadarkan diri. Gita yang melihatnya dari rumah Rini pun segera menghampiri Ibunya.
“Mama! Kok Mama tidur disini, bangun Ma!” Gita menggoyang-goyangkan tubuh Rubi namun Rubi tak juga bangun.
Gadis ini berlari keluar rumah meminta pertolongan kepada tetangga sekitar. Tubuh Rubi pun dibopong masuk kedalam kamar.
Gita mencoba menahan tangisnya, ia memandang ke langit-langit kamar agar air matanya tak jatuh. Ia tak boleh sedih didepan Ibunya.
Beberapa saat Rubi terbangun, matanya samar-samar melihat beberapa tetangga didalam kamar tidurnya. Ada wajah cantik tersenyum manis melihatnya membuka mata, Gita.
Rubi bisa kesal dengan Galih dan Sinta, tapi ia tak ingin menyalahkan Gita, pelita hatinya itu yang sulit untuk dibenci. Ia sudah memantapkan hati, tentang rahasia siapa Gita sebenarnya, biarlah ia simpan sendiri, dalam hati.

0 Response to "Pelita Hati Rubi"

Posting Komentar